Senin, 06 Juni 2011

asuhan keperawatan asma bronkial

BAB I
TINJAUAN TEORITIS

1.1. Konsep dasar asma bronkhial
1.1.1. Definisi
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trachea dan bronchus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (The American Thoracic Society, 1962).
Asma adalah penyakit inflamasi obstruksif yang ditandai oleh periode episodik spasme otot-otot polos dalam dinding saluran bronchial (spasme bronkus). Spasme bronkus ini menyempitkan jalan nafas sehingga membuat pernapasan menjadi sulit dan menimbulkan bunyi mengi (Asih dan Effendi, 2004).
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruksif intermiten, reversible dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimilasi tertentu, asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan nafas yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi (Brunner dan Suddarth, 2002).
Asma didefinisikan sebagai penurunan fungsi paru dan hiperresponsitas jalan nafas terhadap berbagai rangsang, karakteristik meliputi bronkospasme, hipersekresi mukosa, dan perubahan inflamasi jalan nafas (Campbell dan Haggerty dalam Carpenito, 1999)

1.1.2. Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi
a. Asma Bronchial Tipe Atopic (Ekstrinsik)
Asma timbul karena seseorang yang mengalami atopi akibat pemaparan allergen. Allergen yang masuk tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan, dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai Antigen Presenting Sells (APC). Setelah allergen diproses dalam sel APC, selanjutnya oleh sel tersebut, allergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui pelepasan interleukin I (II-I) mengaktifkan sel Th. Melalui pelepasan interkulen 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan sinyal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag, dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan allergen yang sama,allergen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada dalam permukaan mastosit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influx Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali yang dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) didalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologis, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase, dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktivitas bronchus merupakan bronchus yang mudah sekali mengerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan/factor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa misalnya allergen (inhalan dan kontaktan), polusi, asap rokok/dapur, bau-bauan yang tajam, dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan.
Saat ini telah diketahui bahwa hiperreaktivitas bronchus disebabkan oleh inflamasi bronchus yang kronis. Sel-sel inflamasi terutama eosinifil ditemukan dalam jumlah besar pada cairan bilas bronchus klien dengan asma bronchial sebagai bronchitis kronik eoninofilik. Hiperreaktivitas berhubungan dengan beratnya derajat penyakit. Secara klinis, adanya hiperreaktivitas bronchus dapat dibuktikan dengan dilakukannya uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamine.
Berdasarkan pada hal tersebut, pada saat ini penyakit asma secara klinis dianggap sebagai penyakit bronkhospasme yang reversible. Secara patofisiologis, asma juga dianggap sebagai suatu hiperreaksi bronchus dan secara patologis sebagai suatu peradangan saluran pernapasan.

Mukosa dan dinding bronchus pada klien dengan asma akan terjadi edema. Terjadinya infiltrasi pada sel radang terutama eosinofil dan terlepasnya sel silia menyebabkan adanya getaran silia dan mucus diatasnya. Hal ini membuat salah satu daya pertahanan saluran pernapasan menjadi tidak berfungsi lagi. Pada klien dengan asma bronchial juga ditemukan adanya penyumbatan saluran pernapasan oleh mucus terutama pada cabang-cabang bronchus.
Akibat dari bronkhospasme, edema mukosa dan dinding bronchus, serta hipersekresi mucus menyebabkan terjadinya penyempitan pda bronchus dan percabangannya, sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang aksis HPA. Aksis HPA yang terangsang akan meningkatkan adenocorticotropic hormone (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan menyupresi imunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisiskan sel radang menurun, reaksi tersebut direspons oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronchus sehingga menimbulkan asma bronchial.
b. Asma Bronchial Tipe Non-Atopik (Intrinsik)
Asma nonalergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan allergen tetapi terjadi akibat beberapa factor pencetus seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, dan tekanan jiwa atau stress psikologis. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis, yaitu blockade adrenergic beta dan hiperreaktivitas adrenergic alfa. Dalam keadaan normal aktivitas adrenergic beta lebih dominan daripada adrenergic alfa. Pada sebagian penderita asma, aktivitas adrenergic alfa diduga meningkat sehingga mengakibatkan bronkhokonstriksi dan menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergic beta diperkirakan terdapat dalam enzim yang berada di membrane sel yang dikenal dengan adenil siklase atau disebut juga messenger kedua. Bila reseptor ini dirangsang, enzim adenil siklase tersebut diaktifkan dan akan mengatalisasi ATP dalam sel menjadi 3’5’ siklik AMP.
CAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronchus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil, dan menghambat sekresi eklenjar mucus. Akibat blockade reseptor adrenergic beta, fungsi reseptor adrenergic alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronchus sehingga menimbulkan sesak napas. Hal ini dikenal dengan teori Blockade Adrenergic Beta.
c. Asma Gabungan
Asma gabungan adalah asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik.

1.1.3 Faktor Pencetus Serangan Asma Bronchial
Factor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronchial atau sering disebut sebagai factor pencetus adalah:
a. Allergen
Allergen adalah zat-zat tertentu yang bila diisap atau dimakan dapat menimbulkan serangan asma misalnya debu rumah tengau debu rumah (dermatophagoides pteronissynus), spora jamur, bulu kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya.
b. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus influenza merupakan salah satu factor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronchial. Diperkirakan, dua pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran pernapasan (sundaru, 1991).
c. Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma, karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asma bronchial. Factor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (yunus, 1994).
d. Olahraga atau kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma bronchial akan mendapatkan serangan asma bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda adalah dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani (exercise induced asma-EIA) terjadi setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga.
e. Obat-obatan
Beberapa klien dengan asma bronchial sensitive atau alergi terhadap obat tertentu seperti pinisilin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
f. Polusi udara
Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau kendaraan, asap rokok, asap yang mengundang hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau tajam.
g. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja diperkirakan merupakan factor pencetus yang menyumbang 2-15% klien dengan asma bronchial (sundaru, 1991).

1.1.4. Patofisiologi
Patofisiologi asma tampaknya melibatkan suatu hiperresponsivitas reaksi peradangan. Pada respons alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan alergen dan menyebabkan granulasi mast. Akibat granulasi tersebut, histamin dilepaskan. Histamin memyebabkan kontriksi otot polos bronkhiolus. Apabila respons histaminnya berlebihan, maka dapat timbul spasme asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukus dan meningkatkan permeabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang intestisium paru.
Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respons IgE yang sensitif berlebihan terhadap suatu alergen atau sel-sel mast nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Dimanapun letak hipersensitivitas respons peradangan tersebut, hasil akhirnya adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema, dan obstruksi aliran udara. Apakah kejadian pencetus dari suatu serangan asma adalah anfeksi virus, debu, atau iritan alergi, reaksi peradangan hipersensitif dapat mencetuskan suatu serangan. Olah raga juga dapat berlaku sebagai suatu iritan karena terjadi aliran udara keluar masuk paru dalam jumlah besar dan cepat, udara ini belum mendapat pelembaban (humidifikasi), penghangatan, atau pembersihan dari partikel-pertikel debu secara adekuat sehingga dapat mencetuskan serangan asma.



1.1.5. Tanda dan Gejala
Tiga gejala utama asma adalah betuk, dispnea, dan mengi. Pada beberapa keadaan batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala. Serangan asma biasanya seringkali terjadi pada malam hari. Penyebabnya tidak dimengerti dengan jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan variasi yang mempengaruhi ambang reseptor jalan napas.
Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak didalam dada disertai dengan perasaan lembab, mengi, dan lobarius. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang di banding inspirasi yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesoris pernapasan.
Sianosis sekunder terhadap hipoksia berat dan gejala-gejala retensi karbondioksida, termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan nadi. Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan.

1.1.6. Manifestasi Klinis
a. Dispnea berat
b. Retraksi dinding dada
c. Nafas cuping hidung
d. Peningkatan jelas usaha pernapasan
e. Wheezing
f. Pernapadan yang dangkal dan cepat
g. Selama serangan asma, udara terperangkap karena spasme dan mukus memperlambat ekspirasi. Hal ini memyebabkan waktu menghembuskan udara menjadi lebih lama.







Patoflow













1.2. Konsep Manajemen Asuhan Keperawatan
1.2.1. Pengkajian Keparawatan
a. Anamnesis
Pengkajian mengenai nama, umur, dan jenis kelamin perlu dilakukan pada klien dengan asma. Serangan asma pada usia dini memberikan implikasi bahwa sangat mungkin terdapat status atopic. serangan pada usia dewasa dimungkinkan adanya factor non-atopik. Tempat tinggal menggambarkan kondisi lingkungan tempat klien berada. Berdasarkan alamat tersebut, dapat diketahui pula factor yang memungkinkan menjadi pencetus seranga asma. Ststus perkawinan dan gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau lingkungan merupakan factor pencetus serangan asma. Pekerjaan serta suku bangsa juga perlu dikaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan allergen. Hal lain yang perlu dikaji dari identitas klien ini adalah tanggal masuk rumah sakit (MRS), nomor rekam medis, asuransi kesehatan, dan diagnosis medis.

• Riwayat penyakit saat ini
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan terutama dengan keluhan sesak napas yang hebat dan mendadak, kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti wheezing, penggunaan otot bantu pernapasan, kelelahan, gangguan kesadaran, sianosis, dan perubahan tekanan darah.
Serangan asma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium:
Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus.
Stadium kedua ditandai dengan batuk disertai mucus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak napas, berusaha untuk bernapas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi(wheezing). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, tampak pucat, gelisah, dan warna kulit mulai membiru.
Stadium tiga ditandai dengan hampir tidak terdengarnya suara napas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk, pernapasan menjadi dangkal dan menjadi tidak teratur, irama pernapasan meningkat karena aspiksia.
• Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti adanya infeksi saluran pernapasan atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, dan polip hidung. Riwayat serangan asma, frekuensi, waktu, dan allergen-alergen yang dicurugai sebagai pencetus serangan, serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk meringankan gejala asma.
• Riwayat penyakit keluarga
Pada klien dengan serangan asma perlu dikaji tentang riwayat penyakit asma atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya karena hiper sensitivitas pada penyakit asma ini lebih ditentukan oleh factor genetic dan lingkungan (hood alsagaf. 1993).
b. Pengkajian psiko-sosio-kultural
Kecemasan dan koping yang tidak efektif sering didapatkan pada klien dengan asma bronchial. Status ekonomi berdampak pada asuransi kesehatan dan perubahan mekanisme peran dalam keluarga. gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asma baik gangguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar, sampai lingkungan kerja. Seorang dengan beban hidup yang berat lebih berpotensi mengalami serangan asma. Berada dalam keadaan yatim piatu, mengalami ketidak harmonisan hubungan dengan orang lain, sampai mengalami ketakutan tidak dapat menjalankan peranan seperti semula.
Pengkajian psiko-sosio-kultural meliputi:
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
2. Pola hubungan dan peran
3. Pola persepsi dan konsep diri
4. Pola penanggulangan stress
5. Pola sensorik dan kognitif
6. Pola tata nilai dan kepercayaan




c. Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum
Mengkaji tentang kesadaran klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara, denyut nadi, frekuensi pernapasan yang meningkat, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, sianosis, batuk dengan lendir lengket, dan posisi istirahat klien.
 B1 (breathing)
• Inspeksi
Pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot pernapasan. Inspeksi dada terutama untuk melihat postur bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot intercostalis, sifat dan irama pernapasan, dan frekuensi pernapasan.
• Palpasi
Pada palpasi biasanya kesimetrisan, ekspansi dan taktil frenitus normal.
• Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
• Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi napas tambahan utama wheezing pada akhir ekspirasi
 B2 (blood)
Memonitor dampak asma pada status kardiovaskuler meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi,tekanan darah, dan CRT.
 B3 (brain)
Pada saat inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Disamping itu, diperlukan pemeriksaan GCS, untuk menentukan tingkat kesadaran klien apakah compos metis, somnolen, atau koma.

 B4(bladder)
Pengukuran volume output urine perlu dialkukan karena berkaitan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor ada tidaknya oliguria, karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
 B5(bowel)
Pengkajian tentang bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tanda infeksi, mengingat hal tersebut juga dapat merangsang serangan asma. Pengkajian tentang status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Pada klien dengan sesak napas, sangat berpotensi terjadi kekurangan pemenuhan kebutuhan nutrisi, hal ini karena terjadi dipnea saat makan, laju metabolism, serta kecemasan yang dialami klien.
 B6 (bone)
Dikaji adanya edema ekstremitas, tremor, dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena dapat merangsang serangan asma. Pada integument perlu dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembapan, mengelupas dan bersisik, perdarahan, pruritus, eksim, dan adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis. Apda rambut, dikaji warna rambut, kelembapan, dan kusam. Perlu dikaji pula tentang bagaimana tidur dan istirahat klien yang meliputi berapa lama klien tidur dan istirahat, serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami klien. adanya whwwzing, sesak, dan ortopnea dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat klien.
Perlu pula dikaji tentang aktivitas keseharian klien seperti oalhraga, bekerja, dan aktivitas lainnya. Aktivitas fisik juga dapat menjadi factor pencentus asma yang disebut dengan exercise induced asma.

d. Pemeriksaan Diagnostik

 Pengukuran Fungsi Paru(Spirometer)
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian nbronkodoilator aerosol golongan adrenergic.Peningkatan EFV sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.


 Tes provokasi Bronkhus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denjut jantung 80-90% dari maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEER 10% atau lebih
 Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukan adanya antibody lgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.

 Pemeriksaan Laboratorium
1. Analisa gas darah(AGD/Atrup).
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik
2. Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Perwarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri,cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotic.
3. Sel eosinofol.
Sel eosinofil pada klien denga status asmatikus dapat mencapai 1000-1500mm³. Baik asma intristik ataupun ekstrintik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200mm³. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat.
4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm³ terjadi karena adanya infeksi. GOT dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea.
 Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada pasien dengan asma bronchial biasanya normal, tetapi prosedur ini harus tepat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses patologi diparu atau komplikasi asma seperti pneumothotraks, pneumomedistinum,atelektasis, dan lain-lain.
e. Penatalaksanaan Medis
 Pengobatan Nonfarmokologi
a) Penyuluhan. Penyuluhan ini ditunjukan untuk peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menhindari factor-faktor pencetus, menggunakan obat secara benar, dan konsultasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari factor pencetus.Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asma yang ada pada lingkungan, diajarkan cara menghindari dan menggurangi factor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi klien.
c) Fiosiotrapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mucus. Ini dapat dilakukan dengan postur drainase, perkusi, dan fibrasi dada.

 Pengobatan Farmokologi
a) Agnmosis beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 x semprot, dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit.
b) Metilxantin,dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 x sehari.Golongan metilxantinadalah aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan betaagonis tidak memberikan hasil yang memuaskan
c) Kortikosteroid, Jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respons yang baik, diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosoldengan dosis 4 x semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang dapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromolin dan Iprutropium bromide (atroven). Kromolin merupakan obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum bromide diberikan 1-2 kapsul 4 x sehari (Kee dan Hayes, 1994).

1.2.4. Diagnosis Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya bronkhokonstriksi,bronkhopasme, edema mukosa dan dinding bronkhus, serta sekresi mukus yang kental
2) Resiko tinggi tidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan peningkatan kerja pernafasan, hipoksemia, dan anjaman gagal nafas.
3) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan serangan asma menetap
4) Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang behubungan dengan penurunan nafsu makan
5) Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum, ketihan.
6) Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan(ketidak mampuan untuk bernafas).
7) Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

1.2.5. Rencana Intervensi
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan bronkhokonstiksi,bronkhospasme, edema mukosa dan dinding bronkhus, serta sekresi mukus yang kental.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi kebersihan jalan nafas kembali efektif.
Kreteria evaluasi :
• Dapat mendemonstrasikan batuk efektif
• Dapat menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.
• Tidak ada suara nafas tambahan dan wheezing (-).
• Pernafasan klien normal (16-20 x permenit) tanpa ada penggunaan otok bantu nafas.
Rencana Intervensi Rasional
Kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum. Karatristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi
Atur posisi semifowler. Meningkatkn ekspansi dada
Ajarakan cara batuk efektif Batuk yang terkontrol efektif dapat memudahkan pengeluaran sekret yang melekat dijalan nafas
Bantu klien latihan nafas dalam. Ventilasi maksimal membuka lumen jalan nafas dan meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan nafas besar untuk di keluarkan.
Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari kecuali tidak di indikasikan. Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
Lakukan fisiotrapi dada dengan teknik postural drainase, perkusi dan fibrasi dada. Fisiotrapi dada merupakan strategi untuk mengeluarkan sekret
Kolaborasi pemberian obat
Bronkhodilator golongan B2
• Nebulizer (via inhalasi) dengan golongan terbutaline 0,25 mg,fenoterol HBr 0,1%
• solution,orciprenaline sulfur 0,75 mg.
Intravena dengan golongan theophyline ethilenidialeni (aminogfilin) bolus IV 5-6 mg/kg BB • Pemberian bronkholidator via inhalasi akan langsung menuju area bronkhus yang mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi
• Pemberian secara intravena merupakan usaha pemeliharaan agar dilatasi jalan nafas dapat optimal
Agen mukolitik dan ekspektoran Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengkettan sekret paru yang memudahkan pembersihan
Agen ekspektoran akan memudahkan sekret lepas dari perlengketan jalan nafas.
Kortikos teroid Kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan menurunkan reaksi inflamasi akibat edema mukosa dan dinding bronkhus


DAFTAR PUSTAKA


1. Muttaqin,Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika
2. Brunner & Suddarth.2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : Buku
Kedokteran

0 komentar: