Sabtu, 24 Desember 2011

asuhan keperawatan thalasemia


ASUHAN KEPERAWATAN THALASEMIA

I. PENDAHULUAN

 
 
A. Pembentukan Sistem Hematopoesis dalam Embrio
Pada masa embrio, periode pembentukan sel darah merah dibedakan dalam 3 periode, yaitu:
1. Periode mesoblastik
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim. Mula-mula sel tersebut dibentuk dalam pulau-pulau darah (blood islands) dari yolk sac. Dalam tahap selanjutnya system hematopoesis dibentuk dalam jaringan mesoblastik. Dari pulau-pulau darah tersebut dibentuk sel darah primitive pertama yang kemudian akan menjadi eritroblas granulosit dan megakariosit. Masa embrio sebesar 2,25 mm, pulau-pulau darah tersebut masih ditemukan, sedangkan pada embrio sebesar 5 mm sudah tidak tampak lagi. Pembentukan darah intravaskulus dalam yolk sac dapat dilihat pda embrio sebesar 20 mm dan menghilang pada embrio umur 9 minggu.
2. Periode hepatik
Pada periode ini terjadi pada embrio sebesar 5-7 mm. Sel darah dibuat oleh jaringan mesenkim yang banyak ditemukan dala jaringan hati. Tampak sel eritroblas yang definitif, sel leukosit dan megakariosit. Sel granulosit ini bertambah terus sampai bulan keempat kehidupan embrio. Dalam limpa dibentuk eritropoesis dan leukopoesis tetapi hanya sampai bulan kelima kehidupan fetus. Limpa terutama membentuk sistim limfosit. Timus membentuk limfosit dan juga sedikit mielosit dan eritroblas.
3. Periode mieloid
Dimulai sejak embrio berumur 5 bulan. Mula-mula sel eritropoetik terutama dibuat dalam hati sedangkan sel leukosit dalam sumsum tulang. Pada perkembangan selanjutnya, pembuatan sel darah diambil alih oleh sumsum tulang dan hepar tidak berfungsi membuat darah lagi. Sel mesenkim menjadi berkurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar getah bening dan dinding usus. Secar umum sel ini dikenal sebagai sistem retikuloendotelial.

B. Hemoglobin
Di dalam sumsum tulang juga dibentuk protein. Hemoglobin, suatu bahan penting dalam eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang. Dibentuk dari hem dan globin. Hem terdiri dari 4 struktur pirol dengan atom Fe di tengahnya, sedangkan globin terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida.
Jenis hemoglobin normal yang ditemukan pada manusia ialah HbA (Hemoglobin Adult) yang kadarnya kira-kira 98%, HbF (Hemoglobin Foetus) yang kadarnya tidak lebih dari 2% pada anak berumur lebih dari 1 tahun dan kadar HbA2 yang kadarnya tidak lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir kadar HbF masih sangat tinggi yaitu kira-kira 90%.
Susunan hemoglobin
Molekul hemoglobin terdiri dari hem dan globin. Globin merupakan protein yang terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida (tentramer).
Rantai polipeptida HbA terdiri dari 2 rantai α dan 2 rantai ß. HbF terdiri dari 2 rantai dan 2 rantai α dan 2 rantai ]. HbA2 terdiri dari 2 rantai α dan 2 rantai ð. Oleh karena itu jenis hemoglobin disimbolkan sebagai berikut: HbA = α 2 ß 2; HbF = α 2 ] 2; dan HbA2 = α 2 ð 2.
Rantai α mempunyai 141 asam amino sedangkan rantai ß dan ð mempunyai 146 asam amino. Perbedaan antar keempat rantai tersebut terletak pada susunan asam aminonya. Pembentukan keempat rantai tersebut diatur oleh DNA masing-masing dalam kromosom, namun pembentukannya terjadi dalam ribosom.
Katabolisme hemoglobin
Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja merupakan bagian penting dari hemoglobin, tetapi juga merupakan bagian dari sitokrom dan enzim pernafasan yang penting. Persenyawaannya terdiri dari cincin porfirin dengan atom Fe di tengahnya. Cincin porfirin dibentuk oleh 4 pirol yang saling berikatan. Setiap pirol dibentuk oleh asam suksinat dan glisin yang bersatu membentuk ð amino levulinic acid. Dua molekul ð amino levulinic acid bersenyawa membentuk porfobilinogen. Empat molekul porfobilinogen akhirnya membentuk ikatan porfirin (protoporfirin IX) dan setelah mengikat Fe++ terbentuklah hem. Peristiwa ini terjadi dalam mitokondria.
Waktu sel darah merah menua, sel ini menjadi kaku dan rapuh, akhirnya pecah (120 hari). Hemoglobin difagositosis terutama di limpa, hati dan sumsum tulang. Kemudian direduksi menjadi globin dan hem, globin masuk kembali ke dalam sumber asam amino. Besi dibebaskan dari hem dan sebagian besar diangkut oleh protein plasma transferin ke sumsum tulang untuk pembentukan sel darah merah baru. Sisa besi disimpan dalam hati dan jaringan tuubh lainnya dalam bentuk feritin dan hemosiderin yang akan digunakan kembali. Sisa hem direduksi menjadi karbon monoksida (CO) dan biliverdin. CO diangkut dalam bentuk karboksihemoglobin dan dikeluarkan melalui paru-paru. Biliverdin direduksi menjadi bilirubin bebas, yang secara perlahan-lahan dikeluarkan ke dalam plasma, dimana bilirubin bergabung dengan albumin plasma kemudian diangkut ke dalam sel-sel hati untuk diekskresi ke dalam kanalikuli empedu.

II. THALASEMIA
 
A. Pengertian
Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin (medicastore, 2004).
Sindrom thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu (Kosasih, 2001).
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif, menurut hukum mendel.
Pada tahun 1925, diagnosa penyakit ini pertama kali diumumkan oleh Thomas Cooley (Cooley’anemia) yang di dapat diantara keluarga keturunan italia yang bermukim di USA. Kata thalassemia berasal dari bahasa yunani yang berarti laut.

B. Penyebab
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan secara resesif dari kedua orang tua.
Thalasemia termasuk dalam anemia hemolitik, dimana umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal 100-120 hari). Umur eritrosit ada yang 6 minggu, 8 minggu bahkan pada kasus yang berat umur eritosit bisa hanya 3 minggu.
Pada talasemia, letak salah satu asam amino rantai polipeptida berbeda urutannya atau ditukar dengan jenis asam amino lainnya.

C. Klasifikasi
Secara molekuler, talasemia dibedakan atas:
1. Talasemia alfa (gangguan pembentukan rantai alfa)
2. Talasemia beta ( gangguan pembentukan rantai beta)

3. Talasemia beta-delta (gangguan pembentukan rantai beta dan delta)
4. talasemia delta (gangguan pembentukan rantai delta).
Secara kinis, talasemia dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Talasemia mayor (bentuk homozigot), memiliki 2 gen cacat, memberikan gejala klinis yang jelas.
2. Talasemia minor, dimana seseorang memiliki 1 gen cacat dan biasanya tidak memberikan gejala klinis.


D. Insiden
Talasemia beta tersebar luas di daerah mediterania seperti Itali, Yunani, Afrika Utara, Timur Tengah, India Selatan, Srilangka sampai kawasan asia tenggara. Frekuensi talasemia beta di asia tenggara adalah antara 3-9&. Di dapat pula pada negro Amerika, daerah-daerah tertentu di Italia dan negara-negara mediterania frekuensi carrier thalasemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Thailand 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain thalasemia alfa. Di Indonesia belum jelas, di duga sekitar 3-5% sama seperti Malasia dan Singapura.
Di Indonesia, diperkirakan jumlah pembawa sifat thalasemia sekitar 5-6% dari jumlah populasi. Palembang; 10%, Makassar; 7,8%, Ambon; 5,8%, Jawa; 3-4%, Sumatera Utara; 1-1,5%

E. Patofisiologi
Mengenai dasar kelainan pada thalasemia berlaku secara umum yaitu kelainan thalasemia alfa disebabkan oleh delesi gen (terhapus karenakecelakaan gen) yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada thalasemia beta karena adanya mutasi gen tersebut.
Pada thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggun karena tidak memerlukan rantai beta justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit dan menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit memberi gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.
Eritropoesis dalam sumsum tulang sangat gesit, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal. Destruksi eritrosit dan prekursornya dalam sumsum tulang adalah luas dan masa hidup eritrosit memendek serta didapat pula tanda-tanda anemia hemolitik ringan.
Thalasemia dan hemoglobinopati adalah contoh khas untuk penyakit/kelainan yang bedasarkan defek/kelainan hanya satu gen.


F. Manifestasi Klinik

Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar mengalami anemia ringan.
Pada talasemia mayor, terjadi anemia berat tipe mikrositik dengan pembesaran pada hati dan limpa. Muka mongoloid, pertumbuhan badan kurang sempurna (pendek), perubahan pada tulang karena hiperaktifitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan (terutama tulang panjang). Dapat pula mengakibatkan pertumbuhan berlebihan tulang frontal, zigomatik dan maksilaris. Pertumbuhan gigi biasanya buruk. IQ kurang baik apabila tidak mendapat tranfusi darah secara teratur dan menaikan kadar Hb. Anemia biasanya mulai muncul pada usia 3 bulan dan jelas pada usia 2 tahun.
Gejala lain pada penderita thalassemia adalah jantung mudah berdebar-debar. Hal ini karena tugas hemoglobin membawa oksigen ke seluruhtubuh. Pada thalassemia, karena oksigen yang dibawa hemoglobin kurang, maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih keras, sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-debar. Lama kelamaan, jantung akan bekerja lebih keras, sehingga cepat lelah. Akibatnya terjadi lemah jantung. "Limpa penderita juga bisa menjadi besar, karena penghancuran darah merah terjadi di sana." Selain itu, sumsum tulang juga bekerja lebih keras, karena berusaha mengkompensir kekurangan hemoglobin. Akibatnya, tulang menjadi tipis dan rapuh. Jika kerusakan tulang terjadi pada tulang muka, misalnya, pada tulang hidung, maka bentuk muka pun akan berubah. Batang hidung menjadi hilang/melesak ke dalam (facies cooley). "Ini merupakan salah satu tanda khas penderita thalassemia."

G. Prognosis
Thalasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian chelating agent untuk mengurangi hemosiderosis (harga mahal). Di negara maju dengan fasilitas tranfusi yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai dekade ke-5 dan kualitas hidup yang lebih baik.
Jika dikemudian hari transplantasi sumsum tulang dapat diterapkan maka prognosisnya akan menjadi lebih baik.

H. Komplikasi
Pada talasemia minor, memiliki gejala ringan dan hanya menjadi pembawa sifat. Sedangkan pada thalasemia mayor, tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga harus mendapatkan tranfusi darah seumur hidup. Ironisnya, transfusi darah pun bukan tanpa risiko. "Risikonya terjadi pemindahan penyakit dari darah donor ke penerima, misalnya, penyakit Hepatitis B, Hepatitis C, atau HIV. Reaksi transfusi juga bisa membuat penderita menggigil dan panas.
Yang lebih berbahaya, karena memerlukan transfusi darah seumur hidup, maka anak bisa menderita kelebihan zat besi karena transfusi yang terus menerus tadi. Akibatnya, terjadi deposit zat besi. "Karena jumlahnya yang berlebih, maka zat besi ini akhirnya ditempatkan di mana-mana." Misalnya, di kulit yang mengakibatkan kulit penderita menjadi hitam. Deposit zat besi juga bisa merembet ke jantung, hati, ginjal, paru, dan alat kelamin sekunder, sehingga terjadi gangguan fungsi organ. Misalnya, tak bisa menstruasi pada anak perempuan karena ovariumnya terganggu. Jika mengenai kelenjar ginjal, maka anak akan menderita diabetes atau kencing manis. Tumpukan zat besi juga bisa terjadi di lever yang bisa mengakibatkan kematian. "Jadi, ironisnya, penderita diselamatkan oleh darah tetapi dibunuh oleh darah juga.

I. Penatalaksanaan
Pemberian tranfusi darah berupa sel darah merah diberikan jika kadar Hb telah rendah (kurang dari 6 g%) atau bila anak mengeluh tidak mau makan dan lemah sampai kadar Hb sekitar 11 g/dl. Kadar setinggi ini akan mengurangi kegiatan hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang dan juga mengurangi absorsi Fe dari traktus digestivus. Sebaiknya darah tranfusi tersimpan kurang dari 7 hari dan mengandung leukosit serendah-rendahnya.
Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan iron chelating agent, yaitu Desferal secara intramuskular atau intravena. Splenektomi dilakukan pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, sebelum di dapatkan tanda hiperplenisme atau hemosiderosis. Sesudah splenektomi, biasanya frekuensi tranfusi menjadi berkurang. Pemberian multi vitamin tetapi kontra indikasi terhadap preparat besi.

J. Pemeriksaan Penunjang
Pada talasemia mayor:
Darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis, poikilositosis dan aanya sel target; jumlah retikulosit meningkat serta adanya sel seri eritrosit muda (normoblas). Hb rendah, resistensi osmotik patologis. Nilai eritrosit rata-rata (MC), volume eritrosit rata-rata (VER/MCV), hemoglobin eritrosit rata-rata (HER/MCH) dan konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER/MCMC) menurun. Jumlah leukosit normal atau meningkat. Kadar besi dalam serum normal atau meningkat. Kadar bilirubin dalam serum meningkat. SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan parenkim hati oleh hemosiderosis.
Pada thalasemia minor:
Kadar Hb bervariasi. Gambaran darah tepi dapat menyerupai thalasemia mayor atau hanya sebagian. Nilai VER dan HER biasanya menurun, sedangkan KHER biasanya normal. Resistensi osmotik meningkat.
Pemeriksaan lebih maju adalah analisa DNA, DNA probing, gene blotting dan pemeriksaan PCR (polymerase Chain Reaction).
Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis dan trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak besar kadang-kdang terlihat brush appearance (menyerupai rambut berdiri potongan pendek). Fraktur kompresi vertebra dap[at terjadi. Tulang iga melebar terutama pada bagian artikulasi dengan processus transversus.




DAFTAR PUSTAKA

Aman, Adi Kusuma. 2003. Klasifikasi etiologi dan aspek laboratorik pada anemi hematolik. Digitized by USU digital library. Diakses 25 Maret 2007)

Doenges, Marilynn E., Moorhouse, Mary Frances & Geissler, Alice C. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Kosasih, E.N. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.

Price, Sylvia A & Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku 1. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.

Staf Pengajar IKA FK-UI. 2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawtan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta: EGC.

---------(2004). Apotik Online dan Media Informasi Obat-Penyakit. (medicastore.com.2004, diakses 25 Maret 2007).

0 komentar: