Jumat, 30 Desember 2011

Gangguan Muskuluskeletal pada lansia


Gangguan Muskuloskeletal pada Usia Lanjut
HARTONO TASLIM
Spesialis Geriatri

Pendahuluan
Gangguan muskuloskeletal pada usia lanjut merupakan salah satu dan demikian banyak kasus geriatri yang lazim dijumpai di praktik sehari-hari. Pada kenyataannya, sedikit sekali jenis kelainan muskuloskeletal yang bersifat endemis pada usia lanjut. Tidak dapat disangkal bahwa kaum usia lanjut lebih sering menderita osteoarthritis, penggantian sendi melalui tindakan bedah, maupun kelainan kronis pada rotator cuff. Untuk dapat memahami kelainan muskuloskeletal pada kelompok usia lanjut, perubahan-perubahan seiring dengan pertambahan usia yang timbul pada otot, tulang, persendian, jaringan ikat, dan persarafan harus diketahui. 

Efek dari Ketuaan dan Disuse Terhadap Tubuh
Sistem Otot
Hampir tidak mungkin dibedakan efek dari ketuaan dengan disuse pada tubuh manusia karena keduanya saling berkaitan. Pada umumnya, seseorang yang mulai tua akan berefek pada menurunnya aktivitas. Penurunan aktivitas akan menyebabkan kelemahan serta atropi dan mengakibatkan kesulitan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu aktivitas. Selain itu, berbagai kondisi medis yang lebih prevalen di saat usia lanjut cenderung akan menghambat aktivitas rutin pada individu tersebut.
Perubahan yang jelas pada sistem otot saat usia lanjut adalah berkurangnya massa otot, terutama mengenai serabut otot tipe II1,2. Penurunan massa otot ini lebih disebabkan oleh atropi3. Namun demikian, kehilangan dari serabut otot juga dijumpai2.
Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik basal dan laju konsumsi oksigen maksimal berkurang4,5. Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan kontraksi akan melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga dijumpai berkurangnya rasio otot dengan jaringan lemak.
Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh disuse. Seseorang yang selalu aktif sepanjang umurnya, cenderung lebih dapat mempertahankan massa otot, kekuatan otot, dan koordinasi dibanding dengan mereka yang pola hidupnya santai (sedentary)3. Tetapi, harus diingat bahwa latihan/olah raga yang sangat rutin pun tidak dapat mencegah secara sempuma proses penurunan massa otot6. Individu yang
berpola hidup santai dapat memperoleh kembali massa otot, kekuatan, dan ketahanan tubuhnya setelah terlibat pola latihan yang rutin walau pada usia yang lanjut3,7,8. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa program latihan dan olah raga dapat mencegah penurunan massa otot, bahkan mengembalikannya, tetapi pada kenyataannya tidak semua program tersebut berhasil. Penjelasan yang akurat mengenai keadaan tersebut belum dapat diterangkan dan tidak diketahui. Beberapa hipotesa menjelaskan bahwa efek kumulatif dari diet, kafein, merokok, dan alkohol dapat mempengaruhi proses perubahan sistem otot. Faktor lain seperti sistem endokrin dan perubahan pada susunan saraf pusat juga memegang peranan penting.
Sistem Tulang
Pada usia lanjut dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium tubuh, serta perlambatan remodelling dari tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan usia duapuluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang lebih dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya dengan sistem otot, proses penurunan massa tulang ini sebagian disebabkan oleh usia dan disuse. Dengan menambah aktivitas tubuh, dapat memperlambat proses kehilangan massa tulang, bahkan mengembalikannya secara temporer. Tetapi, tidak terdapat bukti nyata bahwa aktivitas yang intensif dapat mencegah secara sempurna kehilangan massa tulang tersebut. Latihan yang teratur hanya dapat memperlambat laju kehilangan massa tulang. Dengan demikian, hanya mereka yang mampu hidup pada usia yang sangat lanjut yang mungkin akan menderita berbagai komplikasi dari hilangnya massa tulang seperti osteoporosis dan fraktur.
Jaringan Ikat
Kelenturan merupakan salah satu komponen dari kebugaran. Jaringan ikat yang tidak fleksibel lebih mudah timbul trauma. Pada manusia usia lanjut, dijumpai kehilangan sifat elastisitas dari jaringan ikat. Proses disuse dapat menyebabkan pengerutan dari jaringan ikat sehingga kurang mampu mengakomodasikan berbagai pergerakan. Karena menjadi tidak fleksibel maka kelompok usia lanjut ini kurang dapat mentoleransi berbagai pergerakan yang berpotensi membawa kecelakaan dan lebih mudah terjatuh. Pada manusia berusia muda, diperkirakan kelenturan, kekuatan otot, dan koordinasi merupakan bufer dari kemungkinan trauma, tetapi bufer ini jelas berkurang, bahkan hilang pada kaum usia lanjut.
Sistem Persarafan
Selain dijumpai penurunan fungsi muskuloskeletal pada usia lanjut, sistem persarafan terutama kendali saraf juga mulai kurang berfungsi dengan baik dan bahkan hilang. Proses ketuaan akan menyebabkan hilangnya sel-sel otak secara perlahan. Ini bermanifestasi pada penurunan gerakan motorik halus dan koordinasi. Selain itu, juga ditemukan penurunan kecepatan konduksi saraf, pemanjangan waktu reaksi, perlambatan pengolahan data oleh sistem saraf pusat, dan penurunan fungsi propiosepsi serta keseimbangan. Disuse dapat mengeksaserbasi proses ini walau bukan merupakan satu-satunya penyebab penurunan fungsi saraf.
Bentuk Gangguan Muskuloskeletal pada Usia Lanjut
Penyakit Sendi Degeneratif (PSD)
Dengan alasan yang tidak diketahui, sendi cenderung mengalami deteriorasi seiring dengan pertambahan usia. Kondisi ini dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoarthritis. Proses ketuaan sendiri tidak menyebabkan deteriorasi, tetapi mengkomplikasi proses tersebut.
Pada tahap awal dari, PSD terlihat tulang rawan dari sendi mengalami kerusakan dan timbul usaha untuk memperbaiki proses tersebut. Pada beberapa keadaan tertentu, proses perbaikan berjalan mulus, tetapi karena proses degenerasi berjalan lebih cepat
melebihi proses perbaikan maka tulang rawan akan kehilangan kandungan proteoglikan dan kondrosit sehingga timbul pitting serta fissura disertai erosi. Untuk menkompensasi perubahan struktur tersebut, tulang yang berada di bawah tulang rawan akan mengalami sklerosis dan tulang yang berada di tepi persendian akan membentuk osteofit (spurs).
Proses degenerasi pada persendian dapat dijumpai pada hampir semua manusia usia lanjut. Namun, kenyataannya tidak sedikit dari mereka yang berusia 30 tahun atau lebih muda juga mengalami proses tersebut pada beberapa sendi. Fenomena wear and tear dapat merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap proses degenerasi tersebut, terutama pada sendi yang abnormal. Faktor- faktor lain seperti predisposisi genetik, riwayat trauma pada persendian, obesitas, nutrisi, dan overuse dapat berinteraksi
secara kompleks dalam proses degenerasi sendi. Proses degenerasi sendi cenderung mengenai sendi tertentu dan nyeri sendi tidak selalu timbul. Hingga saat ini, sulit mencari penjelasan mengapa individu tertentu yang jelas terlihat kerusakan sendi sedemikian parah secara radiologis hanya mengeluh sedikit nyeri dan bahkan sama sekali tidak ada keluhan. Sementara, pada individu lain, dengan sedikit saja perubahan patologis pada sendi menyebabkan keluhan yang berat, bahkan menyebabkan inkapasitasi (ketidakberdayaan).
Terapi dari PSD bersifat multimodalitas. Menangani nyeri dengan analgesik ataupun NSAIDs merupakan tindakan dasar. NSAID dapat membantu mengendalikan proses inflamasi pada sendi yang terlibat dan dalam beberapa kasus tertentu mungkin diperlukan
injeksi steroid intraartikular. Jika digunakan secara berlebihan bahkan mempercepat proses kerusakan sendi. Injeksi steroid intraartikular sebaiknya tidak dilakukan terlalu sering dan penyuntikan setiap 3 bulan atau 2 bulan sekali sangat tidak dianjurkan.
Pemberian obat analgesik sebaiknya saat nyeri saja, tetapi pada beberapa individu kadang memerlukan terapi jangka panjang. Dalam hal ini, efek samping obat merupakan salah satu pertimbangan. Dalam pengobatan jangka panjang, alternatif lain harus dipikirkan seperti aplikasi panas/dingin pada sendi untuk meringankan keluhan, pemakaian splint untuk menyokong sendi, dan teknik konservasi energi untuk mencegah flareup. Sebagai tambahan, latihan/olah raga ringan juga diperlukan untuk mencegah kontraktur dan deconditioning. Latihan rutin berupa weight-bearing exercise diselingi dengan istirahat yang sesuai akan merangsang nutrisi pada tulang rawan serta memperkuat otot-otot periartikuler. Latihan dan olah raga tersebut harus dihindari pada saat inflamasi akut9.
Pada kasus PSD parah dengan nyeri yang refrakter dengan terapi atau sendi yang sudah kehilangan fungsinya, tindakan seperti arthrodesis sendi, osteotomi, ataupun arthroplasty dapat menjadi pertimbangan. Penggantian sendi (joint replacement) dapat ditolerir dengan baik oleh kelompok usia lanjut.
Nyeri Leher dan Punggung
Nyeri pada leher dan punggung dapat timbul pada semua kelompok usia, tetapi penyebabnya berbeda beda. Pada kelompok usia muda, penyebabnya lebih cenderung akibat penyakit pada jaringan ikat seperti Reiter's syndrome atau ankylosing spondylitis yang bermanifestasi sebagai nyeri punggung dan nyeri sendi sakroiliaka. Pada kelompok usia pertengahan, penyebab nyeri leher umumnya bersumber dari myofascial pain syndrome dan nyeri posttraumatic. Sedangkan penyebab nyeri punggung pada kelompok ini sering berupa hernia dari diskus intervertebralis. Pada kelompok usia lanjut, penyebab tersering dari nyeri leher dan punggung dapat berupa PSD, fraktur osteoporotik, ataupun spinal stenosis.
Penyakit sendi degeneratif (PSD) umumnya mengenai sendi facet. Pada keadaan ini, nyeri sering tercetuskan oleh gerakan ekstensi dan rotasi dari tulang spinal. Gerakan fleksi akan mengurangi keluhan nyeri. Terapi dari PSD spinal terdiri dari pemberian NSAID, latihan memperkuat otot punggung, dan instruksi mengenai pola pergerakan sendi spinal untuk mencegah timbulnya keluhan nyeri. Suntikan langsung pada sendi facet kadang diperlukan untuk kasus yang ekstrim. Pada keadaan degenerasi yang berat dimana telah terjadi spondylolisthesis, diperlukan program latihan seperti isometric flexion strengthening exercise dan kemungkinan diperlukan ortosis lumbosakral.
Fraktur osteoporotik merupakan kejadian akhir dari suatu proses osteoporosis. Fraktur ini sering mengenai tulang vertebra thoracalis ataupun lumbalis. Nyeri sendi umumnya berkurang pada saat fraktur mulai sembuh dan memerlukan waktu beberapa bulan. Fraktur ini sering menyebabkan deformitas berupa kifosis. Jika tidak dijumpai defisit neurologis, maka penanganan fraktur kompresi akut ini adalah pada periode istirahat yang singkat, pemberian analgesik, dan penderita dianjurkan untuk segera kembali ke aktivitas bila kondisi klinis memungkinkan. Posisi seperti fleksi harus dicegah. Pemakaian back brace tidak selalu dapat ditolerir oleh usia lanjut dengan fraktur kompresi.
Spinal stenosis tidak jarang dijumpai pada kelompok usia lanjut dan umumnya timbul pada daerah vertebra cervicalis serta lumbalis. Stenosis juga dapat timbul pada area intervertebra foramina, yaitu daerah dimana nervus spinalis keluar dari canalis vertebralis. Stenosis yang terjadi setinggi vertebra cervicalis dapat menyebabkan myelopati atau kerusakan spinal cord. Kondisi ini akan memberikan tanda-tanda lower motor neuron pada setinggi daerah lesi dan gambaran upper motor neuron pada daerah di bawah lesi. Penderita sering mengeluh rasa kebas, semutan, dan kelemahan, terutama pada lengan atas dan tangan. Pada kasus yang lebih berat, dapat dijumpai spastisitas, hiperefleksia, dan timbulnya refleks patologis, terutama pada ekstremitas bawah. Diagnosa dapat dilakukan dengan elektromiografi dan dikonfirmasi dengan myelogram, CT, ataupun MRI. Terapi bersifat konservatif dengan cervical collar, NSAID, dan latihan fisik ringan. Bila keluhan penderita sedemikian menganggu aktivitas harian maka tindakan dekompresi secara operatif harus dilakukan.
Gambaran klinis dari stenosis vertebra lumbalis sering berupa klaudikasio neurogenik (pseudoclaudicatio). Dalam klinik, perlu dibedakan klaudikasio murni akibat terganggunya aliran darah arterial ke tungkai dengan claudicatio neurogenik. Pada klaudikasio murni, nyeri tungkai dapat diprediksikan setelah suatu interval pergerakan tungkai. Simtom dari pseudoclaudicatio lebih bervariasi dan umumnya nyeri timbul bila dilakukan ekstensi punggung dan saat berdiri (tidak hanya berjalan). Simtom tidak muncul saat olah raga dalam posisi sendi spinal dalam keadaan fleksi (seperti posisi bersepeda ataupun berjalan dengan membungkuk ke depan). Gambaran inilah yang sering membedakannya dengan klaudikasio murni, di mana nyeri akan berkurang saat istirahat dan tidak tergantung pada posisi sendi spinal.
Stenosis spina lumbalis sering diterapi dengan program latihan fleksi pada lumbal pemakaian korset, ataupun dengan sepatu shock-absorbing. Pada beberapa kasus mungkin diperlukan operasi dekompresi.
Spinal stenosis pada area foramina intervertebralis (lateral stenosis) akan memberikan gambaran radikulopati sesuai dengan nervus spinalis yang terkena. Terapi umumnya bersifat konservatif dengan NSAID, injeksi kortikosteroid epidural, nerve root sleeve,
ataupun pemberian oral. Tindakan operatif berupa dekompresi kadang diperlukan dalam beberapa kasus10. Pada kasus dimana lateral stenosis disertai dengan hernia nukleus pulposus, terapi secara operatif jauh lebih berhasil dibanding konservatif11.
Selain beberapa kondisi yang disebut di atas, kelompok usia lanjut juga cenderung menderita nyeri leher dan punggung yang disebabkan oleh metastasis karsinoma, nyeri leher akibat rheumatoid arthritis, dan nyeri posttraumatik. Pada kelompok usia muda, ligamentum flavum di bagian posterior dari canalis spinalis bersifat fleksibel dan elastis, tetapi di saat usia bertambah lanjut elastisitasnya akan berkurang. Akibatnya, suatu gerakan hiperekstensi seperti pada gerakan whiplash (fleksi-ekstensi) pada kecelakaan kenderaan bermotor akan menyebabkan trauma pada spinal cord sehingga menyebabkan nyeri leher.
Nyeri Bahu
Penyebab yang tersering dijumpai adalah chronic rotator cuff tears. Terapinya serupa dengan yang dilakukan pada kaum berusia muda, hanya pada kasus yang lebih kronis tindakan konservatif lebih berfaedah dibanding dengan operatif. Jika telah dilakukan tindakan operatif maka harus dicegah imobilisasi yang terlalu lama karena akan menimbulkan capsulitis adhesiva.
Kelainan yang juga sering menyebabkan nyeri bahu pada usia lanjut adalah ruptur dari tendon biseps. Ruptur menyebabkan pengurangan kekuatan otot biseps dan tindakan pembedahan diperlukan untuk mengembalikan kekuatan otot biseps.
Kelainan PSD pada bahu sering menyebabkan keluhan yang berat. Pada kebanyakan kasus caput humeri akan bermigrasi ke superior dan terkunci ke dalam akromion sehingga akan menyebabkan nyeri yang serius. Tindakan seperti arthrodesis dapat dilakukan walau pada kenyataannya tindakan penggantian sendi total jauh lebih berguna dalam mengurangi nyeri dan disfungsi anggota gerak.
Nyeri bahu pada usia lanjut juga dapat disebabkan oleh adanya pengalihan nyeri dari tempat yang lain (referred pain). Kelainan patologis yang primer umumnya terletak pada vertebra cervicalis, otot paraspinal dan otot leher, plexus brachialis, ataupun suatu tumor paru apical (Pancoast's tumor).
Nyeri Bokong
Bokong merupakan suatu struktur yang banyak menahan beban berat tubuh manusia. Sebagai konsekuensinya, berbagai proses degenerasi dan inflamasi akan menyebabkan keluhan yang nyata pada penderita. PSD di daerah bokong sering diatasi dengan NSAID, penggunaan tongkat, dan olah raga yang ringan.
Penyebab lain dari nyeri bokong yang cukup sering dijumpai pada usia lanjut adalah bursitis trochanterica, penyakit vaskular perifer, tumor abdominal ataupun pelvis, dan pseudogout (chondrocalcinosis). Pada penderita yang sering mendapatkan terapi kortikosteroid kemungkinan avascular necrosis perlu dipertimbangkan.
Nyeri Tungkai dan Lutut
Nyeri lutut pada usia lanjut sebagian besar disebabkan oleh PSD. Terapi umumnya berupa pemberian NSAID, penggunaan tongkat, injeksi kortikosteroid intraartikular, dan olah raga yang ringan. Pada kasus yang berat, tindakan penggantian sendi sering lebih
efektif untuk mengurangi nyeri dan menambah fungsi sendi lutut. Penyebab nyeri lutut yang lain pada kaum usia lanjut adalah sobekan meniscus lutut yang mengalami degenerasi. Nyeri yang timbul umumnya ditangani secara konservatif dengan NSAID dan
strengthening exercise. Pada kasus yang parah, perlu dilakukan injeksi intraartikular, arthroscopic debridement, atau kalau perlu meniscectomy.
Baker's cyst, referred pain dari bokong, dan pseudogout merupakan penyebab nyeri lutut yang cukup sering dijumpai pada usia lanjut. Baker's cyst yang ruptur sering memberikan keluhan mirip deep venous thrombosis.
Pada manusia usia lanjut, penyebab nyeri tungkai tidak terlalu banyak. Salah satu yang sering dijumpai adalah claudicatio intermitten. Claudicatio intermitten bukan merupakan kelainan muskuloskeletal sehingga tidak akan dibahas.
Nyeri pada Kaki
Kaki merupakan struktur anatomi yang kompleks yang berfungsi untuk berjalan dan sebagai platform saat berdiri. Perubahan anatomi yang normal juga dijumpai pada kaki saat tua. Pada manusia usia lanjut, dapat dijumpai atropi bantalan lemak pada telapak kaki. Bantalan ini berfungsi sebagai shock absorber sehingga terjadinya atropi akan menyebabkan penambahan tekanan pada struktur kaki.
Keluhan nyeri pada kaki dapat disebabkan kelainan PSD pada sendi sendi di kaki, neuropati perifer, dan penyakit jaringan ikat yang melibatkan kaki. Suatu kondisi yang disebabkan oleh penggunaan kaki yang berlebih (overuse) adalah Achilles tendonitis. Kondisi ini tidak begitu sering pada usia lanjut. Achilles bursitis merupakan kelainan yang cukup banyak dijumpai dimana terjadi proses inflamasi dari bursa retrocalcaneus yang disebabkan iritasi mekanis oleh sepatu. Penanganan kondisi struktur tendon Achilles dan jaringan sekitarnya bersifat konservatif.
Nyeri pada tumit sering disebabkan oleh atropi dari bantalan tumit dan makin diperburuk pada individu yang gemuk. Plantar fasciitis juga menyebabkan nyeri di area tumit, terutama pada aspek anterior dari tulang calcaneus. Kondisi ini ditangani dengan merendam kaki dalam air hangat, pemberian NSAID, dan penggunaan orthosis sepatu.
Hallux valgus lebih sering dijumpai pada kaum wanita yang disebabkan oleh sering memakai sepatu tumit tinggi dengan ruang sepatu bagian depan yang sempit. Hallux valgus sering menyebabkan nyeri dan kadang bisa menjadi ulkus serta mengalami infeksi sekunder. Sementara itu, hallux rigidus lebih sering disebabkan oleh PSD.
Metatarsalgia juga merupakan gangguan berupa nyeri pada kaki, terutama pada wanita berusia di atas 40 tahun akibat atropi bantalan lemak dari kaki dan pemakaian sepatu bertumit tinggi. Metatarsalgia juga dapat disebabkan oleh trauma berulang-ulang pada kaki akibat bantalan sepatu yang tidak bagus.

Pertimbangan Pemberian Obat pada Manusia Usia Lanjut
Proses ketuaan akan menyebabkan serangkaian perubahan dalam tubuh yang akan mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang diberikan. Pada usia lanjut, absorbsi obat dalam saluran pencernaan mengalami penurunan, tetapi efek ini bersifat minor sehingga tidak diperlukan penambahan dosis obat.
Dalam tubuh manusia usia lanjut, terjadi perubahan komposisi cairan dan jaringan tubuh. Jaringan lemak umumnya bertambah seiring dengan proses ketuaan sehingga obat yang bersifat lipofilik akan tersimpan di jaringan lemak. Akibatnya, akan dibutuhkan waktu lebih lama untuk menampakkan efek klinisnya, juga akan memperlambat eliminasi obat dari tubuh seandainya obat tersebut telah dihentikan. Kandungan air dalam tubuh manusia usia lanjut lebih rendah. Hal ini menyebabkan kadar obat yang bersifat hidrofilik dalam serum akan lebih tinggi. Kadar albumin yang relatif rendah di dalam tubuh manusia usia lanjut juga akan menyebabkan kadar obat yang tidak terikat dengan albumin lebih tinggi. Proses eliminasi obat dari tubuh juga mengalami perubahan karena kapasitasnya berkurang, baik melalui jalur hepatik maupun renal. Secara umum, dapat dikatakan bahwa efek samping dan toksik lebih mudah timbul pada kelompok usia lanjut. Karena manusia usia lanjut juga cenderung menggunakan banyak jenis obat, maka bahaya interaksi obat juga akan bertambah.
Golongan NSAID merupakan kelompok analgesik yang sering digunakan. Pada penderita usia lanjut, efek samping yang tersering adalah timbulnya ulkus lambung, perdarahan saluran pencernaan, dan gagal ginjal akut. Golongan salisilat cenderung menyebabkan asidosis metabolik. Dari semua golongan NSAID, sulindac ternyata kurang toksik terhadap ginjal.
Acetaminophen adalah obat yang sangat aman, tetapi harus diingat bahwa half life obat ini akan meningkat pada usia lanjut. Pada penderita dengan gangguan fungsi hati, akan menyebabkan gagal hati akut bila pemakaian dalam dosis tinggi. Analgesik narkotik umumnya tidak menunjukkan problema khusus pada usia lanjut, kecuali efek sampingnya seperti penekanan fungsi susunan saraf pusat, depresi pusat pernapasan, dan konstipasi. Pada kasus nyeri ringan, diusahakan tidak menggunakan analgesik golongan ini.
Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang sangat poten dan juga sangat kuat menekan fungsi kelenjar adrenal. Pemakaian kortikosteroid yang lama akan memperburuk kondisi diabetes mellitus dan osteoporosis, dua keadaan yang sangat sering dijumpai dalam kasus geriatrik.

Daftar Pustaka
  1. Kalu DN, Masaro EJ. The biology of aging, with particular reference to the musculoskeletal system. Clin Geriatr Med 1988; 4:257-267.
  2. Larsson L, Sjodin B, Karlson J. Histochemical and biochemical changes in human skeletal muscle with age in sedentary males, age 22-65 years. Acta Physiol Scand 1978; 103:31-39.
  3. Klitgaard H, Mantoni M, Schiaffino S, et al. Function, morphology and protein L expression of ageing skeletal muscle: A cross sectional study of elderly men with different training background. Acta Physiol Scand 1990; 140:41-54.
  4. Fleg JL, Lakatta EG. Role of muscle loss in the age-associated reduction in V02max. J Appl Physiol 1988; 65:1147-1151.
  5. Tzankoff SP, Norris AH, Effect ofmusclemass decrease on age-related BMR changes. J Appi Physiol 1977; 43:1001-1006.
  6. Pollock ML, Foster C, Knapp D, et al. Effect of age and training on aerobic capacity and body composition of master atheles. J Appl Physiol 1987; 62:725-731.
  7. Frontera WR, Meredith CN, 0'ReiUy KP, et al. Strength conditioning in older men: Skeletal muscle hypertrophy and improved function. J Appl Physiol 1988; 64:1038-1044.
  8. Larsson L. Physical training effects of muscle morphology in sedentary males at different ages. Med Sci Sports Exerc 1982; 14:203-206.
  9. McKeag DB. The relationship ofosteoarthritis and exercise. Clin Sports Med 1992:11:471-488.
  10. Turner JA, Ersek M, Herron L, et al. Surgery for lumbar spinal stenosis- attempted meta-analysis of the literature. Spine 1992; 17:1-8.
  11. Saal JA, Saal JS. Nonoperative treatment ofherniated lumbar intervertebral disc with radiculopathy: Anoutcome study. Spine 1989; 14:431-437.



0 komentar: