Rabu, 28 Desember 2011

penyakit defisiensi imun


Penyakit Defisiensi Imun

Penyakit defisiensi imun  adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi meningkat. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang mengganggu sistem imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik dengan pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau pengobatan.
            Meskipun kemungkinan defisiensi imun harus dipikirkan pada seseorang yang sering mengalami infeksi, tetapi sejatinya penyakit imunodefiensi angka kejadiannya tidak tinggi. Karena itu selalu pertimbangkan kondisi lain yang membuat seseorang lebih rentan terhadap infeksi, seperti penyakit sickle cell, diabetes, kelainan jantung bawaan, malnutrisi, splenektomi, enteropati, terapi imunosupresif dan keganansan.

Penyebab
Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola menurunnya terkait  pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan autosomal (Tabel 28-1).

Penyebab defisiensi imun

 
Defek genetik
Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin)
Defek gen tunggal khusus pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T)
Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik  (misal common variable immunodeficiency)

Obat atau toksin
Imunosupresan (kortikosteroid, siklosporin)
Antikonvulsan (fenitoin)

Penyakit nutrisi dan metabolik
Malnutrisi ( misal kwashiorkor)
Protein losing enteropathy (misal limfangiektasia intestinal)
Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin II)
Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati Akrodermatitis)

Kelainan kromosom
Anomali DiGeorge (delesi 22q11)
Defisiensi IgA selektif (trisomi 18)

Infeksi
Imunodefisiensi transien (pada campak dan varicella )
Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV, infeksi rubella kongenital)

 
(Dikutip dengan modifikasi dari Stiehm dkk, 2005)

Klasifikasi Penyakit
Pada awalnya penamaan imunodefisiensi melekat pada nama penemu, tempat kasus ditemukan, pola imunoglobulin, atau dugaan patomekanisme. Karenanya dapat terjadi ada dua penamaan pada penyakit defisiensi yang sama, dan sering menimbulkan kerancuan. Karenanya International Union of Immunological Societies (IUIS, dahulu  WHO Expert Committee) membuat nomenklatur penyakit defisiensi imun primer dan sekunder seperti pada tabel berikut.

Nomenklatur penyakit defisiensi imun primer dan sekunder IUIS 2003
 
Kelompok dan Penyakit
Inheritansi
Kelompok dan Penyakit
Inheritansi
A. Defisiensi predominan antibodi
  1. XL agamaglobulinemia
  2. AR agamaglobulinemia
  3. Sindrom hiper IgM
  4. XL
  5. Defek AID
  6. Defek CD40
  7. Defek AR lainnya
  8. Delesi gen Ig rantai berat
  9. Mutasi defisiensi rantai κ
  10. Defisiensi selektif kelas IgG
  11. Defisiensi selektif IgA
  12. Defisiensi antibodi dengan kadar Igs normal atau meningkat
  13. Imunodefisiensi variasi umum
  14. Hipogamaglobulinemia transien pada bayi

XL
AR

XL

AR
AR
AR
AR
?
Variabel
?

Variabel
?

  1. Teleangiektasis-ataksia
  2. Anomali DiGeorge
  3. Defisiensi CD4 primer
  4. Defisiensi CD7 primer
  5. Defisiensi IL-2
  6. Defisiensi sitokin multipel
  7. Defisiensi signal transduksi
D. Defek fungsi fagosit
  1. Penyakit granulomatosa kronik
  2. XL
  3. AR
    1. Defisiensi phox p22
    2. Defisiensi phox P47
    3. Defisiensi phox P57
    4. Defek adesi leukosit 1
    5. Defek adesi leukosit 2
    6. Defisiensi neutrofil G6PD
AR
?







XL
AR



AR
AR
XL
B. Imunodefisiensi kombinasi
  1. T-B+ SCID
  2. X-linked (defisiensi γc)
    1. Resesif autosomal (defisiensi Jak3)
  3. T-B+ SCID
  4. Defisiensi RAG-1/2
  5. Defisiensi ADA
  6. Disgenesis retikular
  7. Defek artemis
  8. T-B+ SCID
  9. Sindrom Omenn
  10. Defisiensi IL-2Rα
  11. Defisiensi fosforilase purin nukleosida
  12. Defisiensi MHC kelas II
  13. Defisiensi MHC kelas I disebabkan oleh defek TAP-2
  14. Defisiensi CD3γ atau CD3ε
  15. Defisiensi CD8 (defek ZAP-70)


XL
AR


AR
AR
AR
AR

AR
AR
AR

AR
AR

AR
AR
  1. Defisiensi mieloperoksidase
  2. Defisiensi granul sekunder
  3. Sindrom Schwachman
  4. Neutropenia kongenital berat (Kostmann)
  5. Neutropenia siklik (defek elastase)
  6. Defek leukosit mikobakterial
Defisiensi IFN-γR1 atau R2
Defisiensi IFN-γR1
Defisiensi IL-12Rβ1
Defisiensi IL-12p40
Defisiensi STAT1
E. Imunodefisiensi terkait kelainan
limfoproliferatif
  1. Defisiensi Fas
  2. Defisiensi ligan Fas
  3. Defisiensi FLICA atau caspase 8
  4. Tidak diketahui (defisiensi caspase 3)
AR
AR
AR
AR

AR

AR
AR
AD
AR
AR
AD


AD
C. Imunodefisiensi selular lainnya
19.  Sindrom Wiskott-Aldrich

XL
F. Defisiensi komplemen
41.  Defisiensi C1q

AR
F. Defisiensi komplemen (lanjutan)
  1. Defisiensi C1r
  2. Defisiensi C4
  3. Defisiensi C2
  4. Defisiensi C3
  5. Defisiensi C5
  6. Defisiensi C6
  7. Defisiensi C7
  8. Defisiensi C8α
  9. Defisiensi C8β
  10. Defisiensi C9
  11. Inhibitor C1
  12. Defisiensi faktor I
  13. Defisiensi faktor H
  14. Defisiensi faktor D
  15. Defisiensi properdin
G. Imunodefisiensi terkait dengan
atau sekunder penyakit lain
Instabilitas kromosom atau defek perbaikan
  1. Sindrom Bloom
  2. Anemia Fanconi
  3. Sindrom ICF
  4. Sindrom kerusakan Nijmegen
  5. Sindrom Seckel
  6. Pigmentosum Xeroderma
Defek kromosom
  1. Sindrom Down
  2. Sindrom Turner
  3. Delesi kromosom cincin 18
Abnormalitas skeletal
  1. Short-limbed skeletal dysplasia
  2. Hipoplasia rambut-kartilago
Imunodefisiensi dengan retardasi pertumbuhan umum
  1. Displasia imuno-oseus Schimke
  2. Imunodefisiensi tanpa ibu jari
  3. Sindrom Dubowitz

AR
AR
AR
AR
AR
AR
AR
AR
AR
XL
AD
AR
AR
AR
XL
  1. Retardasi pertumbuhan, anomali wajah dan imunodefisiensi
  2. Progeria (Sindrom Hutchinson-Gilford)
Imonodefisiensi dengan defek dermatologi
  1. Albinisme parsial
  2. Diskeratosis kongenital
  3. Sindrom Netherton
  4. Enterohepatika akrodermatitis
  5. Displasia ektoderma anhidrotik
  6. Sindrom Papillon-Lefevre
Defek metabolik herediter
  1. Defisiensi transkobalamin 2
  2. Asidemia metilmalonik
  3. Asiduria orotik herediter tipe 1
  4. Defisiensi karboksilase biotin-dependen
  5. Manosidosis
  6. Penyakit penyimpanan glikogen, tipe 1b
  7. Sindrom Chediak-Higashi
Hiperkatabolisme imunoglobulin
  1. Hiperkatabolisme familial
  2. Limfangiektasia intestinal
H. Imunodefisiensi lainnya
  1. Sindrom hiper IgE
  2. Kandidiasis mukokutaneus kronik
  3. Kandidiasis mukokutaneus kronik dengan poliendokrinopati (APECED)
  4. Hiposplenia herediter atau kongenital atau asplenia
  5. Sindrom Ivemark
  6. Sindrom IPEX
  7. Displasia ektodermal (defek NEMO)





























AR





XL
XL

 
AD = autosomal dominan; ADA = adenosine deaminase; AID = activation-induced cytidine deaminase; AR = autosomal recessive, capsace = cysteinyl; aspartate = specific proteinase; FLICE = Fas-associating protein with death domain-like Il-1 converting enzyme; G6PD = glucose 6-phosphate dehydorgenase; ICF = immunodeficiency, centromeric instability, facial anomalies; IFN = interferon; Ig = immunoglobulin; IL = interleukin; IPEX = immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy; MHC = major histocompatibility complex; NEMO = IKK-gamma; SCID = severe combined immunodeficiency; TAP-2 = transporter associated with antigen presentation, XL = X-linked
(Dikutip dengan modifikasi dari IUIS Scientific Committee, 2003)



Klasifikasi defisiensi imun primer
 
Defisiensi imun humoral (sel B)
Hipogamaglobulinemia x-linked (hipogamaglobulinemia kongenital)
Hipogamaglobulinemia transien (pada bayi)
Defisiensi imun tak terklasifikasi, umum, bervariasi (hipogamaglobulinemia didapat)
Defisiensi imun dengan hiperIgM
Defisiensi IgA selektif
Defisiensi imun IgM selektif
Defisiensi sub kelas IgG selektif
Defisiensi sel B sekunder berhubungan dengan obat, kehilangan protein
Penyakit limfoproliferatif x-linked

Defisiensi imun selular (sel T)
Aplasia timus kongenital (sindrom DiGeorge)
Kandidiasis mukokutaneus kronik (dengan atau tanpa endokrinopati)
Defisiensi sel T berhubungan dengan defisiensi purin nukleosid fosforilase
Defisiensi sel T berhubungan dengan defek glikoprotein membran
Defisiensi sel T berhubungan dengan absen MHC kelas I dan atau kelas II (sindrom limfosit telanjang)

Defisiensi imun gabungan humoral (sel B) dan selular (sel T)
Defisiensi imun berat gabungan (autosom resesif, x-linked, sporadik)
Defisiensi imun selular dengan gangguan sintesis imunoglobulin (sindrom Nezelof)
Defisiensi imun dengan ataksia teleangiektasis
Defisiensi imun dengan eksim dengan trombositopenia (sindrom Wiskott-Aldrich)
Defisiensi imun dengan timoma
Defisiensi imun dengan short-limbed dwarfism
Defisiensi imun dengan defisiensi adenosin deaminase
Defisiensi imun dengan defisiensi nukleosid fosforilase
Defisiensi karboksilase multipel yang tergantung biotin
Penyakit graft-versus-host
Sindrom defisiensi imun didapat (AIDS)

Disfungsi fagosit
Penyakit granulomatosis kronik
Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase
Defisiensi mieloperoksidase
Sindrom Chediak-Higashi
Sindrom Job
Defisiensi tuftsin
Sindrom leukosit malas
Peninggian IgE, defek kemotaksis dan infeksi rekuren

 
(Dikutip dari AJ Amman, 1991)

Defisiensi antibodi primer

Penyebab defisiensi antibodi primer
 
Usia (tahun)
Anak
Dewasa
< 2
Transient hypogammaglobulinaemia of infancy
X-linked agammaglobulinaemia
Hyper-IgM with immunoglobulin deficiency
 
Dapat terjadi, namun jarang
Dapat terjadi, namun jarang
3-15
Selective antibody deficiencies
Common variable immunodeficiency
Selective IgA deficiency

16-50

Selective antibody deficiencies
Common variable immunodeficiency
Selective IgA deficiency
> 50

Antibody deficiencies with thymoma
 
(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)

Transient hypogammaglobulinaemia of infancy
Antibodi IgG maternal secara aktif ditransfer melalui plasenta ke sirkulasi fetal mulai dari bulan ke-4 gestasional dan mencapai puncaknya saat 2 bulan terakhir. Saat lahir, bayi mempunyai kadar IgG serum yang sama dengan ibu. Katabolisme IgG maternal hanya dikompensasi sebagian oleh IgG yang dibentuk bayi. Periode 3-6 bulan merupakan fase “hipogamaglobulinemia fisiologik”. Bayi normal tidak terlalu rawan terhadap infeksi karena masih terdapat antibodi yang berfungsi meskipun kadar IgG rendah.
            Namun kadar IgG akan sangat kurang apabila IgG yang didapat dari ibu sedikit, seperti pada prematuritas. Bayi-bayi yang lahir pada minggu gestasi ke 26-32 mungkin membutuhkan perawatan intensif agar dapat bertahan hidup, di sisi lain perawatan invasif dapat meningkatkan risiko infeksi. Terapi pengganti imunoglobulin dapat bermanfaat pada bayi berat lahir rendah di negara dengan prosedur invasif dan insidens infeksi bakteri cukup tinggi, sampai bayi tersebut mampu memproduksi antibodi protektif sendiri.
            Hipogamaglobulinemia transien juga dapat terjadi bila bayi lambat dalam memproduksi IgG. Dengan menurunnya kadar IgG serum yang diperoleh dari ibu, bayi lebih rawan mendapat infeksi piogenik rekuren. Pembentukan IgG secara spontan dapat membutuhkan waktu berbulan-bulan. Keadaan ini harus dapat dibedakan dari hipogamaglubulinemia patologik, karena ada perbedaan tatalaksana. Pada sebagian besar bayi, bayi tetap sehat dan tidak memerlukan terapi spesifik, bahkan jika kadar imunoglobulin di bawah ambang normal. Apabila terjadi infeksi berat, dapat diberikan antibiotik profilaksis. Hal ini mungkin dibutuhkan dalam jangka waktu 1-2 tahun sampai sintesis IgG endogen mencukupi.

X-linked agammaglobulinaemia (Bruton’s disease)
Anak laki-laki dengan X-linked agammaglobulinaemia (XLA) biasanya menunjukkan infeksi piogenik rekuren antara usia 4 bulan sampai 2 tahun, biasanya rawan terhadap infeksi enterovirus yang dapat mengancam nyawa.
            Pada sebagian besar pasien, sel B matur tidak ada namun jumlah sel T normal atau bahkan meningkat. Tidak ditemukan sel plasma pada sumsum tulang, nodus limfe atau saluran cerna. Diferensiasi sel pre-B menjadi sel B tergantung pada enzim tirosin kinase (dikenal dengan Bruton’s tyrosin kinase, Btk), yang mengalami defisiensi pada pasien XLA (Gambar 28-2). Gen untuk enzim ini terletak pada lengan panjang kromosom X dan ekspresinya hanya terbatas pada perkembangan sel B.
            Diagnosis berdasarkan pada penemuan kadar semua isotop imunoglobulin serum yang sangat rendah, tidak adanya limfosit B matur di sirkulasi dan mutasi gen Btk. Identifikasi gen dapat berguna dalam mengidentifikasi perempuan karier yang asimtomatik, dan dilakukan saat prenatal. Tatalaksana berupa imunoglobulin pengganti.
Hyper-IgM antibody deficiency
Beberapa anak dengan defisiensi antibodi mempunyai kadar IgM serum yang normal atau meningkat. Anak-anak tersebut juga mempunyai risiko tambahan terhadap infeksi Pneumocystis carinii, yang secara normal terjadi pada defek sel T.  Hal ini menunjukkan defek pada defisiensi antibodi ini tidak hanya terbatas pada defek sel B. Penyakit terkait kromosom X ini disebabkan oleh kegagalan molekul aksesori ligan CD40 pada sel T, yang bereaksi dengan CD40 pada sel B untuk merangsang perubahan IgM menjadi IgG atau IgA pada sel B yang terstimulasi antigen (Gambar 28-2). Tatalaksana berupa imunoglobulin pengganti dan uji genetik untuk perempuan karier.

Common variable immunodeficiency
Common variable immunodeficiency (CVID) merupakan penyakit heterogen yang terjadi dapat pada anak atau dewasa. Banyak pasien tidak terdiagnosis sampai usia dewasa. Sebagian besar pasien CVID mempunyai kadar IgG dan IgA serum yang sangat rendah dengan kadar IgM normal atau sedikit menurun dan jumlah sel B yang normal. Meskipun jarang terjadi, namun CVID merupakan defisiensi antibodi primer simtomatik yang paling umum terjadi. Terapi berupa imunoglobulin pengganti.

Selective antibody deficiencies
Defisiensi selektif salah satu atau lebih subklas IgG sering tidak terdeteksi karena kontribusi IgG1 terhadap IgG total yang relatif besar (70%) sehingga dapat mempertahankan kadar IgG “normal”.
            Aktivitas utama subklas antibodi menentukan jenis infeksi. Antibodi IgG2 mendominasi respons antibodi pada anak lebih tua dan dewasa terhadap antigen polisakarida, seperti pada organisme berkapsul, contohnya Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Oleh karena itu defisiensi IgG2 menyebabkan individu terpajan terhadap infeksi saluran nafas berulang, septikemia pneumokokus atau meningitis. Respons antibodi terhadap antigen protein seperti virus atau toksoid, dikaitkan dengan subklas IgG1 dan IgG3. Pada pasien dengan defisiensi salah satu subklas IgG, peningkatan kadar subklas IgG lain akan mengkompensasi untuk menjaga kadar IgG normal.
            Anak di bawah 2 tahun tidak berespons terhadap antigen polisakarida dan mempunyai kadar IgG2 yang rendah. Respons antibodi spesifik IgG2 berkembang perlahan dan mencapai kadar puncak seperti dewasa pada usia 4-6 tahun. Oleh karena itu, anak usia muda rawan terkena infeksi oleh organisme berkapsul polisakarida. Defisiensi IgG1 dan IgG3 biasa terjadi bersamaan, menyebabkan resposn imun yang kurang baik terhadap antigen protein dan dikaitkan dengan infeksi rekuren. Defisiensi subklas IgG juga dikaitkan dengan defisiensi IgA dan dikaitkan dengan masalah paru.

Selective IgA deficiencies
Defek ini merupakan defek primer yang sering ditemukan pada imunitas spesifik. Defek ditandai dengan kadar IgA serum yang sangat rendah atau tidak terdeteksi dengan konsentrasi IgG dan IgM yang normal. Defisiensi IgA selektif menyebabkan individu terpajan pada infeksi bakteri rekuren, penyakit autoimun dan intoleransi makanan (susu). Sekitar 1/5 pasien dengan defisiensi IgA selektif mempunyai antibodi terhadap IgA, sehingga dapat terjadi reaksi simpang setelah tranfusi darah atau plasma.

Komplikasi defisiensi antibodi
Terdapat berbagai variasi komplikasi pada pasien dengan defisiensi antibodi. Sepsis kronik pada saluran nafas atas dan bawah dapat menyebabkan otitis media kronik, ketulian, sinusitis, bronkiektasis, fibrosis pulmonal dan kor pulmonal. Penyakit gastrointestinal ringan seperti sindrom anemia pernisiosa lebih umun terjadi, namun berbeda dengan anemia pernisiosa klasik. Pada anemia ini tidak terdapat autoantibodi terhadap sel parietal dan faktor intrinsik serta terdapat atrofi gastritis pada seluruh lambung tanpa antral sparing. Diare, tanpa atau dengan malabsorpsi, lebih sering disebabkan oleh infestasi Giardia lamblia, pertumbuhan bakteri berlebihan di usus kecil atau infeksi persisten oleh Cryptosporidium, Campylobacter, rotavirus atau enterovirus.  Fenomena autoimun merupakan kejadian yang umum, sebanyak 15% muncul sebagai anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia autoimun. Artropati terjadi pada 12% defisiensi antibodi. Beberapa pasien dapat terkena artritis kronik pada sendi besar dan artritis monoartikular tanpa terdapat faktor reumatoid.
Pasien dengan X-linked agammaglobulinaemia dan CVID rawan terhadap infeksi kronik echovirus, dan menyebabkan meningoensefalitis persisten. Pasien dengan defisiensi imun yang melibatkan imunitas humoral dan/atau seluler mempunyai risiko 10-200 kali lipat untuk terkena penyakit keganasan.

Kombinasi defisiensi primer sel T dan sel B
Depresi imunitas sel T biasanya disertai dengan variasi abnormalitas fungsi sel B. Hal ini menunjukkan kerjasama sel T dan B dalam produksi antibodi terhadap sebagian antigen. Defisiensi berat ini biasanya muncul dalam bulan pertama kehidupan (Tabel 28-5). Bayi yang sama sekali gagal dalam fungsi limfosit T dan B akan terkena defisiensi imun kombinasi berat (severe combined immunodeficiency, SCID) (Tabel 28-6).



Tanda defisiensi imun kombinasi yang berat
 
Terdapat pada minggu atau bulan pertama kehidupan
Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri
Diare kronik umum terjadi (sering disebut gastroenteritis)
Infeksi respiratorius dan oral thrush umum terjadi
Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi
Limfopenia ditemui pada hampir semua bayi

 
(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)

SCID berdasarkan ada tidaknya sel T dan sel B
 
Kondisi
Defek fungsi
Patogenesis
Keturunan
Keterangan
T- B+ SCID
X linked



Resesif autosom
 
Kegagalan CMI dan antibodi
Sel NK abnormal

Kegagalan CMI dan antibodi
Sel NK abnormal
 
Defisiensi reseptor IL (rantai γ)


Defisiensi sitokin kinase
 
X linked



Resesif autosom
 
40% kasus SCID


5% kasus SCID
T- B- SCID
Resesif autosom



Defisiensi adenosin deaminase (ADA)




Disgenesis retikular
 
Kegagalan CMI dan antibodi


Kegagalan CMI dan antibodi





Kegagalan CMI, antibodi dan fagosit
 
Tidak ada diferensiasi karena defek RAG1/2

Defek struktur koding untuk ADA menyebabkan akumulasi metabolit toksik di limfoblas (T & B)

Tidak ada sel stem

 
Resesif autosom



Resesif autosom






Resesif autosom
 
20% kasus SCID


20% kasus SCID





Kemungkinan hidup tidak ada
Defisiensi MHC kelas I (“bare lymphocyte syndrome”)
Sel T dan B normal, namun CMI dan antibodi rusak

Kegagalan ekspresi antigen MHC kelas I karena defek transkripsi TAP-2
Resesif autosom
Jarang
Defisiensi MHC kelas II
Kegagalan presentasi antigen ke sel T CD4+
Defek transkripsi protein MHC kelas II
Resesif autosom
< 5% kasus SCID
Defisiensi CD3

Kegagalan aktivasi CD3


Defisiensi IL-2
Kegagalan aktivasi sel T CD4+
Defek transkripsi

Defek transduksi signal, seperti defisiensi ZAP-70

Gagal produksi sitokin
Resesif autosom

Resesif autosom



Tidak diketahui
Jarang
 
CMI, cell mediated immunity; IL, interleukin; RAG, recombination activation genes; TAP, transporter associated with antigen processing; ZAP-70, suatu tirosin kinase intraseluler
(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)

Defek primer pada imunitas non-spesifik
Imunitas humoral spesifik membutuhkan mekanisme efektor non-spesifik untuk kerjanya. Mikroorganisme yang telah diopsonisasi oleh antibodi IgG siap untuk terikat dan difagosit oleh sel fagosit. Lisis bakteri yang tergantung komplemen juga membutuhkan jalur komplemen berfungsi dengan baik, demikian pula pada kompleks antibodi-komplemen.

Defek fungsi neutrofil
Peran utama neutrofil adalah memfagosit, menghancurkan dan mengolah mikroorganisme yang menginvasi, terutama bakteri dan jamur. Defek pada neutrofil dapat bersifat kuantitatif (neutropenia) atau kualitatif (disfungsi neutrofil), namun manifestasi klinisnya sama.
            Jumlah neutrofil yang bersirkulasi normalnya melebihi 1,5×109/l. Neutropenia ringan biasanya asimtomatik, namun derajat sedang sampai berat dihubungkan dengan peningkatan risiko dan keparahan infeksi (infeksi akan mengancam nyawa bila jumlah neutrofil di bawah 0,5×109/l). Neutropenia lebih umum ditemukan dibandingkan disfungsi neutrofil, dan penyebab sekunder neutropenia lebih umum dibandingkan penyebab primernya, namun bentuk primer (kongenital) ini bersifat fatal (Tabel 28-7). Neutropenia sering terjadi akibat efek samping dari kemoterapi untuk penyakit keganasan.

Beberapa penyebab neutropenia 

 
a. Penurunan produksi dengan hipoplasia sumsum
  1. Primer
    • Neutropenia kronik jinak
    • Neutropenia siklikal
    • Bentuk kongenital lainnya dan neutropenia familial
  2. Sekunder
  • Obat sitotoksik
  • Leukemia
  • Anemia aplastik
  • Infeksi
  • Reaksi obat
b. Peningkatan destruksi dengan hiperplasia sumsum
  1. Hipersplenisme
  2. Neutropenia imun
 
(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)
Fungsi neutrofil dapat dibagi dalam beberapa stadium dan defek kualitatif dapat diklasifikasikan sesuai tahapan fungsi yang terganggu. Pergerakan neutrofil yang menurun dapat timbul tanpa dikaitkan dengan defek fagositosis dan mekanisme penghancuran. Fungsi opsonisasi yang kurang karena defisiensi antibodi berat atau kadar C3 yang rendah dapat meningkatkan kerawanan terhadap infeksi, hal ini diperberat bila neutrofil mempunyai fungsi fagosit yang buruk, baik primer atau sekunder.
            Apabila mekanisme penghancuran intraseluler gagal, bakteri yang difagosit dapat bertahan dan berproliferasi di dalam lingkungan intraseluler, bebas dari efek antibodi dan antibiotik. Contohnya adalah sindrom penyakit granulomatosa kronik (chronic granulomatous disease, CGD), yang timbul akibat kegagalan produksi radikal oksigen bakterisidal selama proses respiratory burst dalam aktivasi fagositosis. Tipe klasik CGD diturunkan sebagai kelainan X-linked recessive, dan biasanya muncul dalam 2 bulan pertama, meskipun diagnosis mungkin baru ditegakkan saat dewasa muda. Komplikasi yang muncul dapat berupa limfadenopati regional, hepatosplenomegali, abses hepar dan osteomielitis. Tatalaksana CGD meliputi antibiotik profilaksis (biasanya kotrimoksazol) dan antifungal bila diperlukan.

Defisiensi komplemen
Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi sekunder terhadap penyakit yang menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau alternatif. Contohnya adalah penyakit lupus eritematosus sistemik yang mengkonsumsi jalur klasik kompenen komplemen C1, C4 dan C2 dan mengakibatkan rusaknya kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks imun.
            Pada manusia, defisiensi komponen komplemen yang diturunkan dikaitkan dengan sindrom klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4 atau C2 mempunyai lupus-like syndrome, seperti ruam malar, artralgia, glomerulonefritis, demam atau vaskulitis kronik dan infeksi piogenik rekuren. Antinuklear dan antibodi anti-dsDNA dapat tidak ditemukan. Adanya defisiensi komponen komplenen jalur klasik ini menurunkan kemampuan individu untuk eliminasi kompleks imun.
            Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder, contohnya defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan risiko untuk terkena infeksi bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi yang mengancam nyawa, seperti pneumonia, septikemia dan meningitis.
            Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin dengan infeksi neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus rekuren, terutama septikemia dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.
            Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen diturunkan yang paling sering dan penyebab angioedema herediter.

Defisiensi imun sekunder
Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan penyebab primer. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang menurun atau katabolisme (“hilangnya” komponen imun) yang dipercepat.
            Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui saluran cerna (protein-losing enteropathy). Hilangnya imunoglobulin melalui renal setidaknya bersifat selektif parsial, sehingga kadar IgM masih dapat normal meskipun kadar IgG serum dan albumin menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran cerna melalui penyakit inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak.
            Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk sistem imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi, dan defek pada imunitas seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan dengan nutrisi yang buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori yang cukup.
            Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap infeksi. Leukemia limfositik kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan dengan hipogamaglobulinemia dan infeksi rekuren yang cenderung bertambah berat dengan progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin berhubungan dengan defek pada imunitas humoral dan seluler. Penyakit Hodgkin biasanya berhubungan dengan kerusakan yang nyata dari imunitas seluler, namun imunoglobulin serum masih normal sampai fase akhir penyakit.
            Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien dengan keganasan diseminata menandakan adanya defek imun, meskipun sulit membedakan efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan. Obat imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit dan polimorf, namun hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien dengan obat untuk mencegah penolakan organ transplan juga dapat timbul infeksi oportunsistik meskipun tidak biasa. Bentuk iatrogenik lain dari defisiensi imun sekunder adalah yang berhubungan dengan splenektomi.

Infeksi pada pejamu imunokompromais
Individu yang secara alami atau medikal mengalami imunokompromais rentan terhadap infeksi. Sumber infeksi dapat berasal dari patogen umum yang juga menginvasi pada individu sehat, dan juga dari agen oportunistik. Dua hal penting dalam infeksi pada pejamu imunokompromais adalah sebagian besar infeksi disebabkan oleh patogen umum yang biasanya dapat diidentifikasi dan dikontrol dengan terapi yang tepat. Kedua, kesulitan terjadi karena organisme oportunistik sulit untuk diisolasi dan tidak berespons terhadap obat yang tersedia.
            Terdapat dua jalur masuk utama bagi organisme oportunistik, yaitu orofaring dan saluran cerna bagian bawah. Paru menjadi tempat tersering dalam infeksi pada pejamu imunokompromais. Manifestasi klinis berupa demam non-spesifik, dispnea dan batuk kering dengan gambaran foto dada infiltrat pulmonal. Namun sarana penunjang seperti sputum dan kultur darah tidak banyak membantu, lebih dipilih bilas bronkoalveolar, biopsi transbronkial dan biopsi paru terbuka. Pentingnya diagnosis dini dan tatalaksana sangat ditekankan mengingat infeksi paru pada pasien imunokompromasi memiliki angka mortalitas lebih dari 50%.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting ditanyakan riwayat kesehatan pasien dan keluarganya, sejak masa kehamilan, persalinan dan morbiditas yang ditemukan sejak lahir secara detail. Riwayat pengobatan yang pernah didapat juga harus dicatat, disertai keterangan efek pengobatannya, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila pernah dirawat, operasi atau transfusi juga dicatat. Riwayat imunisasi dan kejadian efek simpangnya juga dicari.
Walaupun penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis terdapat berbagai tanda dan gejala yang dapat membimbing kita untuk mengenal penyakit ini (Tabel 28-8). Sesuai dengan gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat diarahkan terhadap kemungkinan penyakit defisiensi imun.
Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk defisiensi antibodi kongenital, infeksi rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2 tahun, karena IgG ibu yang ditransfer mempunyai proteksi pasif selama 3-4 bulan pertama. Beberapa defisiensi antibodi primer bersifat diturunkan melalui autosom resesif atau X-linked. Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi dibandingkan dengan defek primer.
            Pemeriksaan fisik defisiensi antibodi jarang menunjukkan tanda fisik diagnostik, meskipun dapat menunjukkan infeksi berat sebelumnya, seperti ruptur membran timpani dan bronkiektasis. Tampilan klinis yang umum adalah gagal tumbuh.
Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis. Pengukuran imunoglobulin serum dapat menunjukkan abnormalitas kuantitatif secara kasar. Imunoglobulin yang sama sekali tidak ada (agamaglobulinemia) jarang terjadi, bahkan pasien yang sakit berat pun masih mempunyai IgM dan IgG yang dapat dideteksi. Defek sintesis antibodi dapat melibatkan satu isotop imunoglobulin, seperti IgA atau grup isotop, seperti IgA dan IgG. Beberapa individu gagal memproduksi antibodi spesifik setelah imunisasi meskipun kadar imunoglobulin serum normal. Sel B yang bersirkulasi diidentifikasi dengan antibodi monoklonal terhadap antigen sel B. Pada darah normal, sel-sel tersebut sebanyak 5-15% dari populasi limfosit total. Sel B matur yang tidak ada pada individu dengan defisiensi antibodi membedakan infantile X-linked agammaglobulinaemia dari penyebab lain defisiensi antibodi primer dengan kadar sel B normal atau rendah.

Gejala klinis penyakit defisiensi imun
 
Gejala yang biasanya dijumpai
Infeksi saluran napas atas berulang
Infeksi bakteri yang berat
Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau respons pengobatan inkomplit

Gejala yang sering dijumpai
Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh
Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar
Infeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazim
Lesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia, eksim, teleangiektasi, warts yang hebat)
Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan
Jari tabuh
Diare dan malabsorpsi
Mastoiditis dan otitis persisten
Pneumonia atau bronkitis berulang
Penyakit autoimun
Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia)

Gejala yang jarang dijumpai
Berat badan turun
Demam
Periodontitis
Limfadenopati
Hepatosplenomegali
Penyakit virus yang berat
Artritis atau artralgia
Ensefalitis kronik
Meningitis berulang
Pioderma gangrenosa
Kolangitis sklerosis
Hepatitis kronik (virus atau autoimun)
Reaksi simpang terhadap vaksinasi
Bronkiektasis
Infeksi saluran kemih
Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)
Stomatitis kronik
Granuloma
Keganasan limfoid

 
(Dikutip dari Stiehm, 2005)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui penyakit defisiensi imun. Karena banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan (sesuai dengan kelainan klinis dan mekanisme dasarnya) maka pada tahap pertama dapat dilakukan pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:
  1. Pemeriksaan darah tepi
    1. Hemoglobin
    2. Leukosit total
    3. Hitung jenis leukosit (persentasi)
    4. Morfologi limfosit
    5. Hitung trombosit
  2. Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE)
  3. Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG)
    1. Titer antibodi Tetatus, Difteri
    2. Titer antibodi H.influenzae
  4. Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50)
  5. Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang sesuai)

Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan apa yang kita cari (Tabel 28-9).

Pemeriksaan lanjutan pada penyakit defisiensi imun
 
Defisiensi Sel B
  • Uji Tapis:
Kadar IgG, IgM dan IgA
Titer isoaglutinin
Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)
  • Uji lanjutan:
Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)
Kadar subklas IgG
Kadar IgE dan IgD
Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli
Respons antibodi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus
Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid
  • Riset:
Fenotiping sel B lanjut
Biopsi kelenjar
Respons antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen
Ig-survival in vivo
Kadar Ig sekretoris
Sintesis Ig in vitro
Analisis aktivasi sel
Analisis mutasi

Defisiensi sel T
  • Uji tapis:
Hitung limfosit total dan morfologinya
Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts
Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid tetanus, tuberkulin
Foto sinar X dada : ukuran timus
  • Uji lanjutan:
Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)
Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik
HLA typing
Analisis kromosom
  • Riset:
Advance flow cytometry
Analisis sitokin dan sitokin reseptor
Cytotoxic assay (sel NK dan CTL)
Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside purin/PNP)
Pencitraan timus dab fungsinya
Analisis reseptor sel T
Riset aktivasi sel T
Riset apoptosis
Biopsi
Analisis mutasi

Defisiensi fagosit
  • Uji tapis:
Hitung leukosit total dan hitung jenis
Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil
Titer IgE
  • Uji lanjutan:
Reduksi dihidrorhodamin
White cell turn over
Morfologi spesial
Kemotaksis dan mobilitas random
Phagocytosis assay
Bactericidal assays
  • Riset:
Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin)
Oxidative metabolism
Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH)
Analisis mutasi

Defisensi komplemen
  • Uji tapis:
Titer C3 dan C4
Aktivitas CH50
  • Uji lanjutan:
Opsonin assays
Component assays
Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
  • Riset:
Aktivitas jalur alternatif
Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)


 
PENGOBATAN
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan klinisnya maka pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada dasarnya pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi, atau kausal.
Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan memenuhi kebutuhan gizi dan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa, kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha pencegahan infeksi. Substitusi dilakukan terhadap defisiensi komponen imun, misalnya dengan memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum hipergamaglobulin, gamaglobulin, imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai dengan kondisi klinis.
Pengobatan imunomodulasi masih diperdebatkan manfaatnya, beberapa memang bermanfaat dan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan antara lain adalah faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal, produk mikroba (BCG), produk biologik (timosin), komponen darah atau produk darah, serta bahan sintetik seperti inosipleks dan levamisol.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen gizi, pengobatan keganasan, dan lain-lain). Defisiensi imun primer hanya dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati, sumsum tulang) atau rekayasa genetik.

Tatalaksana defisiensi antibodi
Terapi pengganti imunoglobulin (immunoglobulin replacement therapy) merupakan keharusan pada anak dengan defek produksi antibodi. Preparat dapat berupa intravena atau subkutan. Terapi tergantung pada keparahan hipogamaglobulinemia dan komplikasi. Sebagian besar pasien dengan hipogamaglobulinemia memerlukan 400-600 mg/kg/bulan  imunoglobulin untuk mencegah infeksi atau mengurangi komplikasi, khususnya penyakit kronik pada paru dan usus. Imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan pilihan terapi, diberikan dengan interval 2-3 minggu. Pemantauan dilakukan terhadap imunoglobulin serum, setelah mencapai kadar yang stabil (setelah 6 bulan), dosis infus dipertahankan di atas batas normal.
Tatalaksana defek imunitas seluler
Tatalaksana pasien dengan defek berat imunitas seluler, termasuk SCID tidak hanya melibatkan terapi antimikrobial namun juga penggunaan profilaksis. Untuk mencegah infeksi maka bayi dirawat di area dengan tekanan udara positif. Pada pasien yang terbukti atau dicurigai defek sel T harus dihindari imunisasi dengan vaksin hidup atau tranfusi darah. Vaksin hidup dapat mengakibatkan infeksi diseminata, sedangkan tranfusi darah dapat menyebabkan penyakit graft-versus-host.
Tandur (graft) sel imunokompeten yang masih hidup merupakan sarana satu-satunya untuk perbaikan respons imun. Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan terapi pada semua bentuk SCID. Terapi gen sedang dikembangkan dan diharapkan dapat mengatasi defek gen.

PROGNOSIS
Prognosis penyakit defisiensi imun untuk jangka pendek dipengaruhi oleh beratnya komplikasi infeksi. Untuk jangka panjang sangat tergantung dari jenis dan penyebab defek sistem imun. Tetapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa perjalanan penyakit defisiensi imun primer buruk dan berakhir fatal, seperti juga halnya pada beberapa penyakit defisiensi imun sekunder (AIDS). Diperkirakan sepertiga dari penderita defisiensi imun meninggal pada usia muda karena komplikasi infeksi. Mortalitas penderita defisiensi imun humoral adalah sekitar 29%. Beberapa penderita defisiensi IgA selektif dilaporkan sembuh spontan Sedangkan hampir semua penderita defisiensi imun berat gabungan akan meninggal pada usia dini.
Defisiensi imun ringan, terutama yang berhubungan dengan keadaan fisiologik (pertumbuhan, kehamilan), infeksi, dan gangguan gizi dapat diatasi dengan baik bila belum disertai defek imunologik yang menetap.










0 komentar: