Kamis, 12 Januari 2012

makalah halusinasi


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Halusinasi adalah gangguan penerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh/baik.
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.
Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis kasus tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.

B. Ruang Lingkup Masalah
1.        Untuk mengetahui penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan  persepsi sensori berhubungan dengan halusinasi.
2.        Untuk mengetahui rencana dan tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan pada klien dengan gangguan  persepsi sensori berhubungan dengan halusinasi.

C. Tujuan
1.  Tujuan umum
Untuk mendapatkan pengalaman belajar bagaimana penerapan atau pelaksanaan menajemen asuhan keperawatan dengan baik dan benar sesuai konsep teori dan praktek secar tepat, aktual dan sistematis.
2.  Tujuan khusus
a.       Dapat malakukan pengkajian pada penderita halusinasi
b.      Dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada penderita halusinasi
c.       Dapat membuat perencanaan pada penderita halusinasi
d.      Dapat melaksanakan tindakan keperawatan pada penderita halusinasi
e.       Dapat mengevaluasi semua hasil tindakan pada penderita halusinasi

D.  Kegunaan Penulisan
1. Untuk Mahasiswa
Sebagai gambaran dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dengan kasus halusinasi sebagai bahan masukan dalam pembuatan kasus dalam bentuk  karya tulis ilmiah.
2.   Untuk Institusi Pendidikan
Merupakan umpan balik terhadap penerapan teori secara terpadu oleh mahasiswa dan dapat berguna untuk perbaikan serta peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, sebagai referensi di perpustakaan.

E. Strategi Dan Teknik Penulisan  
       Dalam kegiatan studi kasus ini teknik dan strategi dalam pengumpulan datanya menggunakan teknik  penulusuran buku yaitu mempelajari sumber-sumber dari buku-buku penunjang mata ajar dan dari internet.

F. Sistematika Penulisan
       Dalam penulisan karya tulis ini dibagi tiga BAB, yaitu :
       BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang, ruang lingkup masalah, tujuan penulisan, kegunaan penulisan, strategi dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

       BAB II LANDASAN TEORI
Terdiri dari pengertian, klasifikasi, etiologi, psikopatologi, tanda dan gejala, tahap halusinasi, rentang respon halusinasi, penatalaksanaan

       BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
       Terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan yang muncul dan intervensi

       BAB IV DAFTAR PUSTAKA.


BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Pengertian
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart, 2007).
Persepsi merupakan tanggapan indera terhadap rangsangan yang datang dari luar, dimana rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan dan perabaan. Interpretasi (tafsir) terhadap rangsangan yang datang dari luar itu dapat mengalami gangguan sehingga terjadilah salah tafsir (missinterpretation). Salah tafsir tersebut terjadi antara lain karena adanya keadaan afek yang luar biasa, seperti marah, takut, excited (tercengang), sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi gangguan atau perubahan persepsi (Triwahono, 2004).
Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan stimulus eksternal. Dengan maksud bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam membandingkan dan mengenal mana yang merupakan respon dari luar dirinya. Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara fantasi dan kenyataaan. Mereka dalam menggunakan proses pikir yang logis, membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003).
      Perubahan persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa pengertian mengenai halusinasi di bawah ini dikemukakan oleh beberapa ahli:
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).
Varcarolis mendefinisikan halusinasi sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat simulus (Yosep, 2009). Menurut Stuart dan Sundeen's (2004) mendefinisikan halusinasi sebagai “hallucinations are defined as false sensory impressions or experiences”. Arti dari kalimat di atas, Stuart dan Sundeen’s mendefinisikan halusinasi sebagai bayangan palsu atau pengalaman indera.
Halusinasi ialah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam kehidupan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikopatik ataupun histerik (Maramis, 2005).  Kemudian Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa halusinasi merupakan bentuk kesalahan pengamatan tanpa pengamatan objektivitas penginderaan dan tidak disertai stimulus fisik yang adekuat.


B. Klasifikasi
Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :
  1. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.
  2. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada.
  3. Halusinasi bau/hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
  4. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau/hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
  5. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaan ini merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.

C. Etiologi
Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
1. Faktor predisposisi
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
o       Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
o       Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
o       Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
d. Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka induvidu akan megalami stres dan kecemasan.
e.       Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya akan di hasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytranferase (DMP).
f.       Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
   Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

D. Psikopatologi
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar. Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.

E. Tanda dan Gejala
1. Merasa tidak mampu (HDR).
2. Putus asa (tidak percaya diri).
3. Merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan ketrampilan diri).
4. Kehilangan kendali diri (demoralisasi).
5. Merasa mempunyai kekuatan berlebihan dengan gejala tersebut.
6. Merasa malang (tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritual).
7. Bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan.
8. Rendahnya kemampuan sosialisasi diri.
9. Perilaku agresif.
10. Perilaku kekerasan.
11. Ketidakadekuatan pengobatan.
12. Menarik diri.
13. Sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu.
14. Tersenyum atau bicara sendiri.
15. Secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).

F. Tahapan halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
Fase I    :  Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
Fase II   :  Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
Fase III :  Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Fase IV :  Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

G. Rentang respon halusinasi.
Menurut Stuart dan Laraia (2001), halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang respon neurobiologi. Rentang respon neurobiologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Pikiran logis yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren.
2.      Persepsi akurat yaitu proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
3.      Emosi konsisten yaitu manifestasi perasaan yang konsisten atau afek keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama.
4.      Perilaku sesuai yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalah masih dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya umum yang berlaku.
5.      Hubungan sosial harmonis yaitu hubungan yang dinamis menyangkut hubungan antar individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerjasama.
6.      Proses pikir kadang terganggu (ilusi) yaitu menifestasi dari persepsi impuls eksternal melalui alat panca indra yang memproduksi gambaran sensorik pada area tertentu di otak kemudian diinterpretasi sesuai dengan kejadian yang telah dialami sebelumnya.
7.      Emosi berlebihan atau kurang yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan atau kurang.
8.      Perilaku tidak sesuai atau biasa yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian masalahnya tidak diterima oleh norma–norma sosial atau budaya umum yang berlaku.
9.      Perilaku aneh atau tidak biasa yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya umum yang berlaku.
10.  Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain.
11.  Isolasi sosial yaitu menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dalam berinteraksi.
Halusinasi merupakan respon persepsi paling maladaptif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), sedangkan klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
  1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
  1. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara 4persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
  1. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
    Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
  2. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
  1. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
    Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
  1. Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan, sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
o        Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
o        Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
o       Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
o        Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
o        Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2.      Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
3.      Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
o        Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
o        Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
o        Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
o        Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
o        Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
  1. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
  1. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.

B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
  1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi.
  2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
  3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

C. Intervensi
Diagnoasa 1 :
Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
  2. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk digunakan
  3. Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
  • Bina Hubungan saling percaya.
  • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
  • Dengarkan ungkapan klien dengan empati.
  • Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisi klien).
  • Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
  • Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku halusinasi.
  • Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.
  • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
  • Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
  • Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi.
  • Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien.
  • Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok.
  • Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.
  • Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
  • Bantu klien menggunakan obat secara benar.

Diagnosa 2 :
Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya.
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
  2. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.
  3. Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
  4. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
  5. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap dengan keluarga.
Intervensi :
  • Bina hubungan saling percaya.
  • Buat kontrak dengan klien.
  • Lakukan perkenalan.
  • Panggil nama kesukaan.
  • Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
  • Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
    serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri.
  • Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang mungkin jadi penyebab.
  • Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
  • Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
  • Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan melalui tahap-tahap yang ditentukan.
  • Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
  • Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan.
  • Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.
  • Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
  • Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan.
  • Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
  • Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan car a keluarga menghadapi.
  • Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
  • Anjurkan anggota keluarga pasien secara rutin menengok pasien minimal sekali seminggu.

Diagnosa 3:
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan.
  2. Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan.
  3. Pasien mampu memulai mengevaluasi diri.
  4. pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya.
  5. Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan.
Intervensi :
o        Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi fisik.
o        Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
o        Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah sakit.
o        Berikan pujian.
o        Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien.
o        Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
o        Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
o        Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien terhadap stressor.
o        Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi pikiran dan perilakunya.
o        Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistis.
o        Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki.
o        Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
o        Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
o        Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptif.
o        Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah dirinya bukan orang lain.
o        Dorong pasien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri (bukan perawat).
o        Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan/tujuannya.
o        Bantu pasien untuk menetapkan secara jelas perubahan yang diharapkan.
o        Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi yang ada pada dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa. Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa, , 2000

Keliat Budi, Anna, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa, EGC, 1995

Keliat Budi Anna, dkk, Proses Keperawatan Jiwa, EGC, 1987

Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, 1990

Rasmun, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga, CV. Sagung Seto, , 2001.

Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, EGC, 1997

Stuart & Sunden, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, EGC, 1998


0 komentar: