GANGGUAN
TIDUR PADA LANSIA
Oleh : Meida fitri Y / 3A / 07.031
Tidur
merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat
berfungsi dengan baik. Masyarakat awam belum begitu mengenal gangguan tidur
sehingga jarang mencari pertolongan. Pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada
orang yang meninggal karena tidak tidur adalah tidak benar. Beberapa gangguan
tidur dapat mengancam jiwa baik secara langsung (misalnya insomnia yang
bersifat keturunan dan fatal dan apnea tidur obstruktif) atau secara tidak
langsung misalnya kecelakaan akibat gangguan tidur. Di Amerika Serikat, biaya kecelakaan yang berhubungan dengan gangguan tidur
per tahun sekitar seratus juta dolar. Insomnia merupakan gangguan tidur yang
paling sering ditemukan. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa
melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada
lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67 %. Walaupun demikian, hanya satu dari
delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh
dokter.
Irwin Feinberg mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja,
kebutuhan akan tidur siang menjadi relatif tetap. Luce and Segal mengungkapkan
bahwa faktor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap
kualitas tidur. Telah dikatakan bahwa keluhan terhadap kualitas tidur sering
dengan bertumbuhnya usia. Pada kelompok lanjut usia (40 tahun) hanya dijumpai
7% kasus yang mengeluh masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari).
Hal yang sama di jumpai pada 22% kasus pada kelompok usia
70 tahun. Demikian pula, kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh terbangun
lebih awal dari pukul 05.00 pagi. Selain itu, terdapat 30% kelompok usia 70
tahun yang banyak terbagnun diwaktu malam
hari. Anka ini ternyata 7x lenih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20
tahun.
Gangguan tidak saja menunjukan indikasi akan adanya kelainan jiwa yang dini
tetapi merupakan keluhan dari hampir 30% penderita yang berobat ke dokter,
disebabkan oleh :
1.
Faktor Ekstrinsik
(luar) misal: lingkungan yang kurang tenang.
2.
faktor intrinsik,
mial bisa organik dan psikogenik.
· Organik, misal: nyeri, gatal-gatal dan penyakit tertentu yang membuat
gelisah.
· Psikogenik, misal: depresi, kecemasan dan iritabilitas.
Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru,
diabetes, artritis, atau hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya
buruk dan durasi tidurnya kurang bila dibandingkan dengan lansia yang sehat. Gangguan tidur dapat meningkatkan biaya penyakit secara keseluruhan. Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan.
Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk
berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood depresi,
sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan
kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi
pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per
hari bila dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per
hari.
Berdasarkan dugaan etiologinya, gangguan tidur dibagi menjadi empat
kelompok yaitu, gangguan tidur primer, gangguan tidur akibat gangguan mental
lain, gangguan tidur akibat kondisi medik umum, dan gangguan tidur yang
diinduksi oleh zat. Gangguan tidur-bangun dapat disebabkan oleh perubahan
fisiologis misalnya pada proses penuaan normal. Riwayat tentang masalah tidur,
higiene tidur saat ini, riwayat obat yang digunakan, laporan pasangan, catatan
tidur, serta polisomnogram malam hari perlu dievaluasi pada lansia yang
mengeluh gangguan tidur. Keluhan gangguan tidur yang sering diutarakan oleh
lansia yaitu insomnia, gangguan ritme tidur,dan apnea tidur
KLASIFIKASI
GANGGUAN TIDUR
I.
Gangguan tidur primer
Gangguan
tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan disebabkan oleh gangguan mental
lain, kondisi medik umum, atau zat. Gangguan tidur ini dibagi dua yaitu
disomnia dan parasomnia. Disomnia ditandai dengan gangguan pada jumlah,
kualitas, dan waktu tidur. Parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur
atau peristiwa fisiologis yang dikaitkan dengan tidur, stadium tidur tertentu
atau perpindahan tidur-bangun. Disomnia terdiri dari insomnia primer,
hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan,
gangguan ritmik sirkadian tidur, dan isomnia yang tidak dapat diklasifikasikan.
Parasomnia terdiri dari gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur, berjalan
saat tidur, dan parasomnia yang tidak dapat diklasifikasikan. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007196
II.
Gangguan tidur terkait gangguan mental lain
Gangguan
tidur terkait gangguan mental lain yaitu terdapatnya keluhan gangguan tidur
yang menonjol yang diakibatkan oleh gangguan mental lain (sering karena
gangguan mood) tetapi tidak memenuhi syarat untuk ditegakkan sebagai
gangguan tidur tersendiri. Ada dugaan bahwa mekanisme patofisiologik yang
mendasari gangguan mental juga mempengaruhi terjadinya gangguan tidur-bangun.
Gangguan tidur ini terdiri dari: Insomnia terkait aksis I atau II dan Hipersomnia
terkait aksis I atau II.
III. Gangguan
tidur akibat kondisi medik umum
Gangguan
akibat kondisi medik umum yaitu adanya keluhan gangguan tidur yang menonjol
yang diakibatkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum terhadap
siklus tidur-bangun.
IV. Gangguan
tidur akibat zat
Yaitu adanya
keluhan tidur yang menonjol akibat sedang menggunakan atau menghentikan
penggunaan zat (termasuk medikasi). Penilaian sistematik terhadap seseorang
yang mengalami keluhan tidur seperti evaluasi bentuk gangguan tidur yang
spesifik, gangguan mental saat ini, kondisi medik umum, dan zat atau medikasi
yang digunakan, perlu dilakukan
FISIOLOGI
TIDUR NORMAL
Rata-rata dewasa sehat membutuhkan waktu 7½ jam untuk tidur setiap malam.
Walaupun demikian, ada beberapa orang yang membutuhkan tidur lebih atau kurang.
Tidur normal dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya usia. Seseorang yang
berusia muda cenderung tidur lebih banyak bila dibandingkan dengan lansia.
Waktu tidur lansia berkurang berkaitan dengan faktor ketuaan. Fisiologi tidur
dapat dilihat melalui gambaran ekektrofisiologik sel-sel otak selama tidur. Polisomnografi
merupakan alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak selama tidur. Pemeriksaan
polisomnografi sering dilakukan saat tidur malam hari. Alat tersebut dapat
mencatat aktivitas EEG, elektrookulografi, dan elektromiografi. Elektromiografi
perifer berguna untuk menilai gerakan abnormal saat tidur. Stadium tidur -
diukur dengan polisomnografi - terdiri dari tidur rapid eye movement (REM)
dan tidur non-rapid eye movement (NREM).
Tidur REM disebut juga tidur D atau bermimpi
karena dihubungkan dengan bermimpi atau tidur paradoks karena EEG aktif selama
fase ini. Tidur NREM disebut juga tidur ortodoks atau tidur gelombang lambat
atau tidur S. Kedua stadia ini bergantian dalam satu siklus yang
berlangsung antara 70 120 menit. Secara umum ada 4-6 siklus REM-REM yang
terjadi setiap malam. Periode tidur REM I berlangsung antara 5-10 menit. Makin
larut malam, periode REM makin panjang. tidur NREM terdiri dari empat stadium
yaitu stadium 1,2,3,4.
STADIUM TIDUR
NORMAL PADA DEWASA
Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup.
Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat,
8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat.
Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk
terdapat gelombang alfa campuran.
Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia
menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan
aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo
rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi
4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun,
berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan
bila terbangun merasa seperti setengah tidur.
Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks
K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus
per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti
oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif,
dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung
menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini
menduduki
sekitar 50% total tidur.
Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2
siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot
meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.
Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3.
Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat
atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total.
Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi
tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir
sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat
letupan periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 197
Gangguan Tidur Lanjut Usia atau hilang. Tekanan
darah dan nafas meningkat. Pada pria terjadi ereksi penis. Pada tidur REM
terdapat mimpi-mimpi. Fase ini menggunakan sekitar 20%-25% waktu tidur. Ratensi
REM sekitar 70-100 menit pada subyek normal tetapi pada penderita depresi,
gangguan makan, skizofrenia, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan
penggunaan alkohol durasinya lebih pendek. Sebagian tidur delta (NREM) terjadi
pada separuh awal malam dan tidur REM pada separuh malam menjelang pagi.
Tidur REM dan NREM berbeda dalam hal dimensi psikologik dan fisiologik.
Tidur REM dikaitkan dengan mimpi-mimpi sedangkan tidur NREM dengan pikiran
abstrak. Fungsi otonom bervariasi pada tidur REM tetapi lambat atau menetap
pada tidur NREM. Jadi, tidur dimulai pada stadium 1, masuk ke stadium 2, 3, dan
4. Kemudian kembali ke stadium 2 dan akhirnya masuk ke periode REM 1, biasanya
berlangsung 70-90 menit setelah onset. Pergantian siklus dari NREM ke siklus REM biasanya berlangsung 90 menit. Durasi periode REM meningkat menjelang pagi 2.
Kondisi tidur siang hari dapat dinilai dengan multiple sleep latency test (MSLT).
Subyek diminta untuk berbaring di ruangan gelap dan
tidak boleh menahan kantuknya. Tes ini diulang beberapa kali (lima kali pada
siang hari). Latensi tidur yaitu waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur.Waktu
ini diukur untuk masing-masing tes dan digunakan sebagai indeks fisiologik
tidur. Kebalikan dari MSLT yaitu maintenance of wakefulness test (MWT). Subyek ditempatkan
di dalam ruangan yang tenang, lampu suram, dan
diinstruksikan untuk tetap terbangun. Tes ini juga diulang beberapa kali.
Latensi tidur diukur sebagai indeks kemampuan individu untuk mempertahankan
tetap bangun.
Beberapa
terminologi standar ukuran polisomnografi
1. Kontinuitas
tidur yaitu keseimbangan antara tidur dengan bangun selama satu malam. Kontinuitas
tidur dikatakan baik bila tidur lebih banyak daripada bangun dan dikatakan
buruk bila tidur sering terinterupsi atau terbangun. Ukuran kontinuitas tidur
yang spesifik adalah latensi tidur (jumlah waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur,
biasanya dihitung dalam menit). Terbangun intermiten yaitu jumlah waktu
terbangun setelah onset tidur (dalam menit).
2. Efisiensi
tidur yaitu rasio antara waktu sebenarnya yang digunakan untuk tidur dengan
waktu yang dihabiskan di tempat tidur - diukur dalam persentase. Angka tinggi
menunjukkan efisiensi tidur baik.
3. Arsitektur
tidur yaitu jumlah dan distribusi stadium tidur. Ukurannya adalah jumlah
absolut tidur REM dan masing-masing tidur NREM, dihitung dalam menit. Tidur
manusia bervariasi sepanjang kehidupannya. Pada anak-anak dan remaja awal,
jumlah tidur gelombang lambat relatif stabil. Kontinuitas dan dalamnya tidur
berkurang setelah dewasa. Pengurangan tersebut ditandai dengan peningkatan
frekuensi bangun, tidur stadium 1, serta penurunan stadium 3 dan 4. Oleh karena
itu, usia harus dipertimbangkan dalam
mendiagnosis
gangguan tidur. Siklus sirkadian tidur-bangun dapat mempengaruhi fungsi
neuroendokrin misalnya sekresi kortisol, melatonin, dan hormon pertumbuhan.
Pada dewasa normal, temperatur tubuh juga mengikuti ritme sirkadian; puncaknya
pada sore hari dan paling rendah pada malam hari. Gangguan siklus temperatur
dikaitkan dengan insomnia. Umur, pola tidur premorbid, dan status kesehatan
secara umum mempengaruhi tidur. Apabila dibandingkan dengan tidur subyek dengan
usia muda, tidur lansia kurang dalam, lebih sering terbangun, tidur delta
berkurang, dan tidurnya tidak efektif. Mengantuk di siang hari sering terjadi
pada lansia. Keadaan ini dapat mempengaruhi jadual tidur-bangunnya di malam
hari. Walaupun demikian, beberapa individu memang mempunyai durasi tidur lebih
pendek atau kebutuhan tidurnya lebih sedikit. Individu ini tidak mempunyai
keluhan susah masuk tidur dan tidak ada tanda-tanda khas insomnia seperti
sering terbangun, letih, susah konsentrasi, dan iritabilitas. Fungsi siang
harinya tidak terganggu meskipun ia tidur kurang dari tujuh jam
Gangguan Tidur Lanjut Usia tidurnya. Perubahan
yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang lambat, terutama
stadium 4, gelombang alfa menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun di
malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya terbangun.
Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif
terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa muda normal
akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering
terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total lansia hampir sama
dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidur-bangun lansia juga sering terganggu.
Jam biologik lansia lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju. Seringnya
terbangun pada malam hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur
pada siang hari. Dengan perkataan lain, bertambahnya umur juga dikaitkan dengan
kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi terhadap fase atau
jadual tidur-bangun menurun, misalnya sangat rentan dengan perpindahan jam
kerja. Adanya gangguan ritmik sirkadian tidur juga berpengaruh terhadap kadar
hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan, prolaktin, tiroid,
dan kortisol pada lansia. Hormon-hormon ini dikeluarkan selama tidur dalam.
Sekresi melatonin juga berkurang.
Melatonin berfungsi mengontrol sirkadian tidur. Sekresinya terutama pada
malam hari. Apabila terpajan dengan cahaya terang, sekresi melatonin akan
berkurang 2.
HIGIENE TIDUR
PADA LANSIA
Gangguan
tidur dapat berbentuk buruknya higiene tidur dan gangguan tidur spesifik.
Evaluasi keluhan tidur lansia hendaklah selalu dilakukan. Keluhan tidur
hendaknya jangan diabaikan meskipun mereka sudah tua. Buruknya higiene tidur
dapat disebabkan oleh harapan yang berlebihan terhadap tidur atau jadual tidur.
Akibatnya, lansia sering menghabiskan waktunya di tempat tidur atau sebentar-sebantar
tertidur di siang hari.
CHECKLIST HIGIENE TIDUR
Tidur bangun
Waktu tidur
yang tidak teratur menunjukkan adanya gangguan ritmik sirkadian tidur.
Pemanjangan latensi tidur menunjukkan adanya ketegangan atau kecemasan sehingga
terjadi insomnia. Peningkatan frekuensi dan durasi terbangun di malam hari
dikaitkan dengan nokturia, kejang otot kaki, pernafasan pendek, dan kecemasan.
Terbangun dini hari atau memanjangnya durasi tidur dapat menunjukkan depresi.
Peningkatan frekuensi dan durasi mengantuk di siang hari menunjukkan tidak
adekuatnya tidur di malam hari. Pasien mesti didorong untuk mengatur dan
mengurangi waktunya di tempat tidur. Selain itu, pasien mesti didorong untuk
lebih aktif di siang hari (fisik dan sosial).
Lingkungan
Suara gaduh,
cahaya, dan temperatur dapat mengganggu tidur. Lansia sangat sensitif terhadap
stimulus lingkungannya. Penggunaan tutup telinga dan tutup mata dapat
mengurangi pengaruh buruk lingkungan. Temperatur dan alas tidur yang tidak
nyaman juga dapat mengganggu tidur. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik di
tempat tidur juga harus dihindari misalnya makan, menonton TV, dan memecahkan
masalah-masalah serius. Faktor-faktor ini mesti dievaluasi ketika berhadapan
dengan lansia yang mengalami gangguan tidur. Lansia mesti dianjurkan untuk
menciptakan suasana yang nyaman untuk tidur.
Diet dan
Penggunaan obat
Minum kopi,
teh, dan soda, serta merokok sebelum tidur dapat mengganggu tidur. Alkohol
dapat mempercepat onset tidur tetapi beberapa jam kemudian pasien
kembali tidak bisa tidur. Obat-obat tidur atau obat-obat yang diresepkan untuk
gangguan kondisi medik dapat kadang-kadang dapat mengganggu tidur. Pengaruhnya
dapat terjadi secara berangsur-angsur setelah beberapa lama menggunakan obat
tersebut. Pasien dianjurkan untuk mengurangi atau mengubah jam-jam penggunaan
obat atau diet yang dapat mempengaruhi tidur.
Hal-hal Umum
Edukasi
tentang tidur malam perlu diberikan kepada lansia. Pasien dianjurkan untuk
membuat kontak sosial dan aktivitas fisik secara teratur di siang hari. Pasien
harus pula dibantu untuk kenghilangkan kecemasannya. Membaca sampai mengantuk
merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kecemasan yang mengganggu tidur 1,2.
Gangguan
tidur pada lansia
Gangguan
tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor usia dan ada pula
gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada lansia. Ada beberapa gangguan tidur yang sering ditemukan pada lansia.
INSOMNIA
PRIMER
Ditandai
dengan:
· Keluhan
sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit
satu bulan Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007
199
· Menyebabkan
penderitaan yang bermakna secara klinik atau impairment
sosial, okupasional, atau fungsi penting lainnya.
· Gangguan tidur
tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan mental
lainnya.
· Tidak
disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik
umum atau zat.
Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur dan
terbangun berkali-kali. Bentuk keluhan tidur bervariasi dari waktu ke waktu.
Misalnya, seseorang yang saat ini mengeluh sulit masuk tidur mungkin suatu saat
mengeluh sulit mempertahankan tidur. Meskipun jarang, kadang-kadang seseorang mengeluh
tetap tidak segar meskipun sudah tertidur. Diagnosis gangguan insomnia dibuat
bila penderitaan atau impairmentnya bermakna. Seorang penderita
insomnia sering berpreokupasi dengan tidur. Makin berokupasi dengan tidur,
makin berusaha keras untuk tidur, makin frustrasi dan makin tidak bisa tidur.
Akibatnya terjadi lingkaran setan.
INSOMNIA
KRONIK
Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan; selain itu, dapat pula
terjadi akibat bebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur.
Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran, atau pikiran
negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa tidur). Adanya
kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan seseorang
berusaha keras untuk tidur tetapi ia semakin tidak bisa tidur. Ketidakmampuan
menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha tidur dapat pula menyebabkan
insomnia psikofisiologik. Selain itu, ketika berusaha untuk tidur terjadi
peningkatan ketegangan motorik dan keluhan somatik lain sehingga juga
menyebabkan tidak bisa tidur. Penderita bisa tertidur ketika tidak ada usaha
untuk tidur. Insomnia ini disebut juga insomnia yang terkondisi. Mispersepsi
terhadap tidur dapat pula terjadi. Diagnosis ditegakkan bila seseorang mengeluh
tidak bisa masuk atau mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif
adanya gangguan tidur. Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari
satu jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur kurang
dari lima jam. Tetapi dari hasil polisomnografi terlihat bahwa onset
tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur 90%, dan waktu tidur totalnya
lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini
dikatakan mengalami mispersepsi terhadap tidur.
Insomnia
idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan
dapat berlanjut selama hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan disebabkan
oleh ketidakseimbangan neurokimia otak di formasio retikularis batang otak atau
disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal sendiri atau adanya rasa
ketakutan yang dieksaserbasi pada malam hari dapat menyebabkan tidak bisa
tidur. Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan mood (risiko depresi dan anxietas), menurunkan
motivasi, atensi, energi, dan konsentrasi, serta menimbulkan rasa
malas. Kualitas hidup berkurang dan menyebabkan lansia tersebut lebih sering
menggunakan fasilitas kesehatan.
Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat gangguan tidur
sebelumnya. Sering penderita insomnia mengobati sendiri dengan obat
sedatif-hipnotik atau alkohol. Anksiolitik sering digunakan untuk mengatasi
ketegangan dan kecemasan. Kopi dan stimulansia digunakan untuk mengatasi rasa
letih. Pada beberapa kasus, penggunaan ini berlanjut menjadi ketergantungan
zat. Pemeriksaan polisomnografi menunjukkan kontinuitas tidur yang buruk
(latensi tidur buruk, sering terbangun, efisiensi tidur buruk), stadium 1
meningkat, dan stadium 3 dan 4 menurun. Ketegangan
otot meningkat dan jumlah aktivitas alfa dan beta juga meningkat 2,3
PERJALANAN
GANGGUAN INSOMNIA PRIMER
Faktor-faktor
yang mempresipitasi insomnia berbeda-beda. Onset insomnia bisa bersifat tiba-tiba. Insomnia biasanya terjadi akibat stresor psikologik, fisik dan sosial. Insomnia sering
berlanjut meskipun kausanya sudah dapat diatasi. Hal ini disebabkan terjadinya
kondisioning negatif atau kewaspadaan yang meningkat. Misalnya, seorang lansia
yang menderita nyeri dapat menghabiskan waktunya di tempat tidur dan sulit
tidur karena nyerinya. Kondisioning negatif dapat terjadi. Kondisi ini dapat
bertahan meskipun nyeri sudah tidak ada lagi. Insomnia juga dapat berkembang
dalam konteks stresor psikologik akut atau gangguan mental. Perjalanan insomnia
dapat bervariasi. Insomnia harus dibedakan dari gangguan mental yang salah satu
gambaran kliniknya insomnia (skizofrenia, gangguan depresi berat, gangguan
cemas menyeluruh). Insomnia primer tidak ditegakkan jika insomnia terjadi
secara eksklusif selama adanya gangguan mental lain. Diagnosis insomnia primer
dibuat jika gangguan mental lain tidak dapat menerangkan insomnia, atau jika
insomnia dan gangguan mental mempunyai perjalanan yang berbeda. Jika insomnia
merupakan manifestasi gangguan mental dan secara eksklusif terjadi selama
gangguan mental lain, diagnosis yang lebih cocok adalah insomnia terkait
gangguan mental lain. Diagnosis dibuat jika keluhan insomnia sangat menonjol
dan perlu mendapat perhatian klinik tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
·
Darmojo,
Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut),
Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
·
SKM,
Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Tinjauan Dari Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
·
www.google.com (online) diakses pada tanggal
26 Oktober 2009.
0 komentar:
Posting Komentar