Asuhan Keperawatan
klien dengan fraktur
A. Konsep Medis
1.
Anatomi dan Fisiologi
a.
Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba
intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana
melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh
sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat
penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang
dapat diklasifikasikan dalam
lima kelompok berdasarkan
bentuknya :
1). Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang
yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di
sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis
dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng
epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi
tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang
yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk
oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous
atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng
epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen,
dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen,
bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang
suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis
medularis berisi sumsum tulang.
2). Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak
teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang
yang padat.
3). Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang
concellous.
4). Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5). Tulang sesamoid merupakan tulang
kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan
didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel,
matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis
dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks
merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi
tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran,
resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik
fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks
tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella
terdapat osteosit, yang
memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan
pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous
padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang
mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi
rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga
sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).
Gambar
1 Anatomi tulang panjang
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik
(hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan
terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan
(protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan
fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium.
Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui
proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif
(resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam
menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan
dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang
berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn
hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan
terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang.
Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks
tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid.
Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan
mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast
tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati.
Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk
tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya
membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap
tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam
nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat
dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi,
terjadi secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi
karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah
sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang
terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim
yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat
pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit
demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul
osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang
baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan
tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas
menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling.
Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas,
sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga
melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa
muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah
total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas
melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas
osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada
usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat
menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan
osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas
dirangsang oleh olah raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk
sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang
aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen,
testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas
osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas
akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron
akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang
penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen
turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon
pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja
pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan
kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang
mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan
kadar kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian,
vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan
akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas
terutama dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid
dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar
tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat
sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid
meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk
membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan
balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut.
Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan menurunkan
sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi ion
fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan
vitamin D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang
dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar
kalsium serum. Kalsitonin memiliki
sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek-efek
ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum.
b.
Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1). Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2). Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan
lunak.
3). Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
4).
Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema topoiesis).
5).
Menyimpan garam
mineral, misalnya kalsium, fosfor.
2.
Pengertian
Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing
Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa patah
tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh
atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
3.
Etiologi
1)
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah
tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering
bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2)
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3)
Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat
jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
4.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan
gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1)
Faktor Ekstrinsik
Adanya
tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)
Faktor Intrinsik
Beberapa
sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.
5.
Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis
, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1).
Faktur Tertutup
(Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2).
Fraktur Terbuka
(Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1).
Fraktur Komplit, bila
garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang
seperti terlihat pada foto.
2).
Fraktru Inkomplit,
bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a)
Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b)
Buckle atau Torus
Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
c)
Green Stick Fraktur,
mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1).
Fraktur Transversal:
fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi
atau langsung.
2).
Fraktur Oblik:
fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
meruakan akibat trauma angulasijuga.
3).
Fraktur Spiral:
fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.
4).
Fraktur Kompresi:
fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah
permukaan lain.
5).
Fraktur Avulsi:
fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya
pada tulang.
d. Berdasarkan
jumlah garis patah.
1)
Fraktur Komunitif:
fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2)
Fraktur Segmental:
fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3)
Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah
lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan
pergeseran fragmen tulang.
1).
Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis
patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2).
Fraktur Displaced
(bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi
ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi
ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi
ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan
posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1.
1/3 proksimal
2.
1/3 medial
3.
1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a.
Tingkat 0: fraktur
biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b.
Tingkat 1: fraktur
dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c.
Tingkat 2: fraktur
yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d.
Tingkat 3: cedera
berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.
6.
Manifestasi Klinik
a.
Deformitas
b.
Bengkak/edema
c.
Echimosis (Memar)
d.
Spasme otot
e.
Nyeri
f.
Kurang/hilang sensasi
g.
Krepitasi
h.
Pergerakan abnormal
i.
Rontgen abnormal
7.
Test Diagnostik
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan
tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c. Peningkatan
jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cederah hati.
8.
Penatalaksanaan Medik
a.
Fraktur Terbuka
Merupakan
kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu
jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan
luka
2) Exici
3) Hecting
situasi
4) Antibiotik
b.
Seluruh Fraktur
1)
Rekognisis/Pengenalan
Riwayat
kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2)
Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang)
adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis
(brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang
dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila
cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan
untuk menjalani prosedur; harus diperoleh
izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.
Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips,
biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga
reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar‑x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang
benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar‑x digunakan
untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang
sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar‑x. Ketika kalus telah kuat
dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup,
plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut
menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3)
Retensi/Immobilisasi
Upaya
yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4)
Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi,
strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting
otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari‑hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga‑diri. Pengembalian bertahap pada
aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi
interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan
stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada
ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban
berat badan.
9. Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang
lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan
jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk
oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1)
Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur.
Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2)
Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada
stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan
yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses
osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3)
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel
yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast
mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk
kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman
tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang
pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4)
Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada
garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat
dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang
normal.
5)
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur
telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan
atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki
dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya.
10. Komplikasi
1)
Komplikasi Awal
a.
Kerusakan Arteri
Pecahnya
arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.
Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan
oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain
itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.
Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.
Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.
Avaskuler Nekrosis
Avaskuler
Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.
Shock
Shock
terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2)
Komplikasi Dalam Waktu Lama
b.
Delayed Union
Delayed
Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah
ke tulang.
c.
Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan
adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu
atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah
yang kurang.
d.
Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
B. Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a.
Pengumpulan Data
1)
Anamnesa
a)
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)
Provoking Incident:
apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa
nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah
rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa
jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung,
kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e)
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)
Riwayat Psikososial
Merupakan
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga
dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)
Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3)
Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan
Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn
E, 2002).
(4)
Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(5)
Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6)
Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak
yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7)
Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul
rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8)
Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
2)
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebih mendalam.
a)
Gambaran Umum
Perlu
menyebutkan:
(1)Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran
penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
(2)Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem
Integumen
Terdapat
erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b)Kepala
Tidak
ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h)Mulut
dan Faring
Tak ada
pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara
ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak
tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara
S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara
thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada
hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)
Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P
yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
(1)Look
(inspeksi)
Perhatikan apa yang
dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b) Cape au
lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f) Posisi
dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2)Feel
(palpasi)
Pada waktu akan
palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral
(posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang
perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time à Normal
3 – 5 “
(b) Apabila
ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(c) Nyeri
tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah,
atau distal).
Otot:
tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)Move
(pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel,
kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral)
atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3)
Pemeriksaan Diagnostik
a)
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan
dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA
dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya
dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1)
Bayangan jaringan lunak.
(2)
Tipis tebalnya korteks sebagai akibat
reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3)
Trobukulasi ada
tidaknya rare fraction.
(4)
Sela sendi serta
bentuknya arsitektur sendi.
Selain
foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1)
Tomografi:
menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2)
Myelografi: menggambarkan
cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)
Arthrografi:
menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4)
Computed
Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang
dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)
Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin
Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
(3) Enzim
otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST),
Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c)
Pemeriksaan lain-lain
(1)
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test
sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)
Biopsi tulang dan otot: pada intinya
pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila
terjadi infeksi.
(3)
Elektromyografi:
terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4)
Arthroscopy:
didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5)
Indium Imaging: pada
pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6)
MRI: menggambarkan
semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius,
Donna D, 1995)
b.
|
3. Diagnosa Keperawatan
Adapun
diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
(Doengoes, 2000)
4. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan
tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat
dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas
trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan
imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau
traksi
2.
Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
3.
Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
4. Lakukan
tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)
5.
Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas
dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
6. Lakukan
kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.
7. Kolaborasi
pemberian analgetik sesuai indikasi.
Evaluasi keluhan nyeri
(skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)
|
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler.
Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan
lokal dan kelelahan otot.
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan
kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
Menilai perkembangan masalah klien.
|
b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan
fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan
syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Dorong
klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal
cedera.
2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan
bebat/spalk yang terlalu ketat.
3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera
kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.
4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna
kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
|
Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan
bebat/spalk.
Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya
keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus
vena.
Mengevaluasi
perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.
|
c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan
kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak
cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Instruksikan/bantu
latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.
2. Lakukan
dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.
3.
Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin,
heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.
4. Analisa
pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit
5. Evaluasi
frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor,
penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.
|
Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.
Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan
kongesti paru.
Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan
tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk
mencegah/mengatasi emboli lemak.
Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan
gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar
lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli
lemak.
Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan
tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli
paru tahap awal.
|
d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan
mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi
fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian
tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas
INTERVENSI KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik
(radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada
ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan
sesuai indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi)
sesuai keadaan klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
6. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
7. Berikan
diet TKTP.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
9. Evaluasi
kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.
|
Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri,
membantu menurunkan isolasi sosial.
Meningkatkan sirkulasi darah
muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi,
mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi.
Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien.
Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan
mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas
fisik secara individual.
Menilai perkembangan
masalah klien.
|
e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan
ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai
waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1. Pertahankan
tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang,
bantalan bawah siku, tumit).
2.
Masase kulit
terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
4. Observasi
keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.
|
Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot
terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.
Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.
Menilai
perkembangan masalah klien.
|
f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan
luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai
protokol
2.
Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi
pen.
3.
Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus
sesuai indikasi.
4. Analisa
hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas
luka/serum/tulang)
5.
Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.
|
Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan
luka.
Meminimalkan kontaminasi.
Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan
secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk
mencegah infeksi tetanus.
Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi,
anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.
Mengevaluasi perkembangan masalah klien.
|
h.
Kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi
terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada.
Tujuan : klien
akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien mengerti dan
memahami tentang penyakitnya
INTERVENSI
KEPERAWATAN
|
RASIONAL
|
1.
Kaji kesiapan klien mengikuti
program pembelajaran.
2.
Diskusikan metode mobilitas dan
ambulasi sesuai program terapi fisik.
3.
Ajarkan tanda/gejala klinis yang
memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal
cedera)
4.
Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila
diperlukan.
|
Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.
Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan
pelaksanaan program terapi fisik.
Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang
memerulukan intervensi lebih lanjut.
Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi
maslaha sesuai kondisi klien.
|
B. Evaluasi
o
Nyeri berkurang atau hilang
o
Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler
perifer
o
Pertukaran gas adekuat
o
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
o
Infeksi tidak terjadi
o
Meningkatnya
pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami
0 komentar:
Posting Komentar